KRICOM - Pemilihan Presiden 2019 sudah di depan mata. Namun demikian, nama calon presiden yang resmi diumumkan baru satu orang, yakni Joko Widodo yang kembali diusung oleh PDIP dan maju menjadi petahana.
Pakar Hukum Tata Negara, Riawan Tjandra menilai apabila sampai saat pemilu tiba dan calon yang diusung hanya satu, maka terjadi kegagalan dalam sistem demokrasi Indonesia.
"Kalau kita lihat dari upaya membangun demokrasi yang lebih substantif, menurut saya terjadi kegagalan soal itu, karena kemudian bangsa ini gagal untuk melakukan penyiapan kader-kader yang mampu tampil sebagai pemimpin negara atau menjadi presiden. Padahal kita punya 200 juta penduduk Indonesia," kata Riawan Tjandra kepada Kricom, Jumat (9/3/2018).
Dalam pandangan Riawan, pemerintahan yang baik dalam sistem demokrasi yang berkembang dan sistem negara modern, sebaiknya memang didasarkan atas prinsip check and balance. Artinya, ada saling mengawasi, mengimbangi, dan saling mengisi.
Namun demikian, kata Riawan, apabila calon tersebut tetap maju seorang diri maka melawan kotak kosong tidak bisa dihindari.
"Kalau memang nanti calonnya calon tunggal, tidak ada yang mampu mengimbangi popularitas maupun legitimasi Pak Jokowi, maka secara hitung-hitungan efisiensi, memang akan lebih efisien dalam proses pemilihannya karena nanti hanya melawan kotak kosong itu. Akan tetapi, itu jatuhnya tetap kegagalan demokrasi," jelasnya.
Selain itu, kata Riawan, bila calon tunggal itu tetap maju dan terpaksa terpilih, maka ada dampak signifikan yang dihadapi negara, yakni absolutisme kekuasaan.
"Dampak berikutnya karena tidak ada mengimbangi dan menguasai check and balance akibatnya potensi untuk terjadinya absolutisme kekuasaan akan menjadi lebih besar. Kenapa? Karena bisa dipastikan kursi di parlemen di DPR itu akan dikuasai oleh mayoritas partai pendukung penguasa," pungkasnya.