KRICOM - Kontestasi Pemilihan Presiden memang baru akan berlangsung pada tahun 2019 mendatang, tetapi aroma kompetisi justru telah menghangat sejak saat ini.
Sebagian pihak pun menilai bahwa persaingan di Pilpres 2019 akan cukup ketat. Namun ketatnya persaingan bisa jadi justru menimbulkan efek negatif, salah satunya kemunculan isu-isu terkait suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pengamat Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes berharap agar kontestasi Pilpres 2019 tidak diwarnai isu SARA. Menurutnya penggunaan isu tersebut tidak memiliki efek apapun dalam perpolitikan tingkat nasional.
"Untuk level nasional isu berbasis primordial tidak ada efeknya secara politik. Pertama, sudah ada penolakan dari dua ormas Islam, NU dan Muhammadiyah. Kedua, masyarakat sudah tidak terlalu suka isu SARA digunakan sebab manusia Indonesia itu pemilih yang moderat," ujar Arya dalam pesan singkatnya, Senin (26/3/2018).
Menurut Arya, kandidat calon Presiden sebaiknya mengutamakan isu bidang ekonomi saat berkontestasi dalam Pilpres 2019. Satu contoh dengan menyoroti soal hutang negara hingga kesejahteraan masyarakat.
"Iya menurut saya yang lebih berpengaruh adalah isu ekonomi misalnya kinerja bidang ekonomi, kesejahteraan masyarakat, utang, dan tenaga kerja asing. Isu itu akan lebih kuat karena masyarakat lebih konsen dengan isu ekonomi," lanjut dia.
Untuk saat ini, kata Arya, tokoh yang berpotensi maju dalam kontestasi Pilpres yakni calon petahana, Joko Widodo (Jokowi). Jika maju, Jokowi perlu memikirkan cara meraup suara dari kaum milenial.
"Memang ini tidak mudah bagi Jokowi dalam merebut hati milenial," ujar dia.
Menurut Arya, Jokowi perlu memilih sosok cawapres pendamping yang memiliki kompetensi dalam bidang ekonomi dan mampu merangkul kalangan milenial. Selain itu, Jokowi sebagai calon petahana juga perlu memastikan cawapres pendamping merupakan sosok yang intelektual dan tidak menggunakan isu SARA dalam kampanyenya.
"Pertimbangan-pertimbangan lain, penerimaan sosok oleh koalisi. Kedua pertimbangan PDIP. Ketiga, pertimbangan representasi wilayah Indonesia timur, tengah, dan barat," lanjut dia.
Dari segala pertimbangan tadi, Arya tidak melihat banyak tokoh memenuhi hal itu. Namun satu diantara tokoh yang memenuhi segala kriteria itu, dia menyebut sosok Ketua Umum PPP, Romahurmuziy alias Romi.
"Jadi Jokowi masih memberi kesempatan kepada siapapun, tidak memberi keistimewaan siapapun. Siapa yang layak mendampingi tergantung tingkat kompetisinya," tutur dia.