KRICOM - Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon merasa Pasal Penghinaan Presiden tak perlu dimasukkan ke dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Menurut dia, pasal tersebut berpotensi menciptakan kemunduran dalam demokrasi di Indonesia.
Tak sampai di situ, Fadli juga menilai bahwa sebenarnya aturan serupa juga telah dicantumkan dalam KUHP, yaitu Pasal 207 KUHP tentang Penghinaan Terhadap Penguasa sudah ada, sehingga masuknya Pasal 263 dalam RKUHP tentang Penghinaan Presiden Republik Indonesia berpotensi menjadi pasal karet.
"Saya rasa tidak perlu karena membuat demokrasi ini mundur lagi. Jadi sudah diatur, kalau menghina ya ada aturannya tapi kalau itukan harus dibuktikan, jangan jadi pasal karet," ucap Fadli di Hotel Royal Kuningan, Sabtu (3/2/2018)
Fadli juga mengkritik pendapat sebagian kalangan yang menyebut bahwa Pasal 263 bertujuan untuk menjaga kewibawaan presiden. Menurutnya, kewibawaan seorang presiden bukanlah dengan menciptakan pasal tersebut.
"Kewibawaan itu dari kinerja, bukan dari undang-undang. Justru diktator-diktaror itu membuat kewibawaan dari hukum besi seperti itu," ucap Fadli.
Bagi Fadli jika pasal tersebut diterapkan maka negara Indonesia bisa menjadi otoriter dengan mensucikan sosok kepala negara yang sepatutnya tidak boleh berlebihan.
"Aturan itu tidak boleh dibikin untuk menjadikan jabatan itu menjadi kultus untuk kemudian menjadi lebih otoritarian dan pasal-pasal itu akan menyebabkan negara kita menjadi otoritarian, bukan demokrasi lagi," tutup Fadli.
Diberitakan sebelumnya, dalam draf RKUHP Januari 2018, tertuang Pasal 263 tentang penghinaan terhadap presiden. Pasal 263 ayat 1 menyebutkan, seorang yang dimuka umum menghina presiden terancam pidana lima tahun.
Sedangkan Pasal 263 ayat 2 menyebut, seseorang tidak dianggap menghina jika perbuatan untuk kepentingan kebenaran atau pembelaan diri.