KRICOM - Polemik soal munculnya pasal penghinaan terhadap presiden di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mendapatkan tanggapan berbeda dari anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem, Teuku Taufiqulhadi. Menurutnya, keberadaan pasal tersebut tetap diperlukan dalam mendukung jalannya demokrasi di Tanah Air.
Taufiqulhadi memaparkan, seorang kepala negara patut mendapatkan perlindungan dalam berbagai aspek, baik keamanan maupun kewibawannya. Menurutnya, apabila seseorang menghina presiden, maka ia juga telah menghina masyarakat Indonesia, karena presiden merupakan pilihan rakyat.
"Kita memilih presiden kemudian kita hina, sama saja menghina kita sendiri. Kalau dia tidak bisa menghargai orang menjadi pemimpin sebenarnya bangsa itu sudah gagal," ucap Taufiqulhadi kepada wartawan, Sabtu (3/2/2018).
Seperti diketahui pasal 263 tentang penghinaan terhadap presiden pada ayat 1 menyebutkan, "Seorang yang di muka umum menghina Presiden terancam pidana lima tahun". Taufiqulhadi menilai ayat tersebut bertujuan untuk mencegah timbulnya provokasi di tengah masyarakat.
"Jadi pasal ini tidak akan bertabrakan dengan demokrasi," ucap Taufiqulhadi.
Terakhir Taufiqulhadi mengingatkan untuk tidak berprasangka negatif dengan mengaitkan pasal penghinaan presiden dengan tahun politik 2018 dan 2019. Baginya KUHP itu digunakan bagi Indonesia sampai ratusan tahun untuk menegakkan hukum, sehingga tidak ada kaitannya dengan Pilkada 2018 ataupun Pilpres 2019.
"Jangan melihat dalam jangka pendek dan konspiratif karena kalau kita melihatnya konspiratif melulu, maka enggak maju-maju kita," ucap Taufiqulhadi.
Sebelumnya dalam draf RKUHP Januari 2018, tertuang Pasal 263 tentang penghinaan terhadap presiden. Pasal 263 ayat 1 menyebutkan, seorang yang dimuka umum menghina presiden terancam pidana lima tahun.
Sedangkan Pasal 263 ayat 2 menyebut, seseorang tidak dianggap menghina jika perbuatan untuk kepentingan kebenaran atau pembelaan diri.