KRICOM - Di hadapan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Joko Widodo menyinggung soal kebebasan berpendapat di Indonesia. Menurut dia, pendapat rakyat semakin seru disampaikan dengan berkembangnya teknologi informasi.
"Tersedianya teknologi informasi khususnya sosial media memberi kesempatan warga negara untuk menyampaikan aspirasi, membuat pemimpin lebih mudah mendengar rakyat, interaksi sosial lebih mudah dan gampang," terang Jokowi, Sabtu (10/3/2018).
Namun, lanjut dia, media sosial saat ini bagai media tanpa redaksi. Media sosial kerap disalahgunakan dan dipakai ke hal-hal yang kontraproduktif.
"Sampaikan berita bohong, hoax, saling hujat dan mencemooh serta mencela menjelekkan, bahkan umbar kebencian yang justru membawa keresahan di masyarakat dan ini hampir terjadi di semua negara, tak hanya di Indonesia," keluhnya.
Jokowi pun mengaku kaget dengan munculnya pemberitaan di sosial media. Seperti ketika ada berita tentara Cina yang masuk ke Indonesia melalui Bandara Soekarno Hatta, Tanggerang, Banten.
"Setelah kami cek ke kepolisian berita itu enggak ada, dan enggak benar," ungkap dia.
Kemudian, berita di media sosial soal kasus penyerangan terhadap ulama juga membuat Jokowi kaget. Karena berita di media sosial menyebutkan, sebanyak 41 ulama yang diserang.
"Setelah dicek enggak benar. Yang benar hanya 3 kasus yang sedang dalam penanganan serius oleh polisi," ucapnya.
Jokowi menduga, segala pemberitaan hoax di media sosial sengaja dibuat. Dengan tujuan untuk memperkeruh suasana di Indonesia.
"Sepertinya disengaja untuk perkeruh suasana. Ini yang harus kita cegah dan kita tindak sesuai hukum yang berlaku. Dan ini tegas saya sampaikan ke Polri tindak tegas pelakunya," imbuhnya.
Dari situ, Jokowi berkesimpulan jika sistem demokrasi Indonesia berjalan ke trek yang benar. Namun harus ada hal-hal yang perlu diperbaiki ke depannya.
"Artinya Demokrasi kita sudah cukup baik, tapi mesti diperbaiki lagi. Upaya pembebasan kehidupan berpolitik harus terus dilakukan," pungkasnya.