KRIMINALITAS.COM, Jakarta - Tim pengacara Presiden ke-2 Indonesia Soeharto lepas tangan soal dikabulkannya Peninjauan Kembali (PK) Kejagung terhadap Yayasan Supersemar terkait dugaan penyelewengan dana beasiswa Supersemar yang mengharuskan yayasan milik keluarga Soeharto tersebut membayar Rp 4,4 Triliun.
"Saya memang pernah menjadi bagian dari pengacara keluarga Cendana untuk menangani gugatan itu. Tapi belum sampai ketok palu saya dan beberapa pengacara lain sudah mundur," kata salah satu mantan pengacara Soeharto, Mohammad Aseggaf dihubungi Kriminalitas.com, Kamis (13/7) sore.
Pengacara senior ini mengaku, ia bersama sejumlah pengacara lain seperti Juan Felix Tampubolon, Denny Kailimang, dan Indriyanto Seno Adji sudah mundur.
"Yang menangani semuanya setelah kami itu OC Kaligis. Karena dia sekarang ditahan, saya tak bisa menjawab karena dalam posisi tidak tahu," ungkapnya.
Sementara itu, Indriyanto Seno Adji tidak mau berkomentar baik dari sisi hukum maupun pandangan pribadinya.
"Wah saya kan sudah di KPK, Mas, sudah enggak ngurusin soal gitu-gitu,'' katanya melalui pesan singkat kepada Kriminalitas.com.
Kasus ini bermula saat Presiden Soeharto mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 1976 yang menentukan 50 persen dari 5 persen sisa bersih laba bank negara disetor ke Yayasan Supersemar.
PP inilah yang membuat Yayasan Supersemar sejak 1976 hingga Soeharto lengser mendapat gelontoran dana sebesar USD 420 juta dan Rp 185 miliar.
Dana besar yang seharusnya untuk membiayai dana pendidikan rakyat Indonesia tersebut ternyata diselewengkan.
Setelah Soeharto tumbang, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diwakili Kejaksaan Agung (Kejagung) menggugat Yayasan Supersemar yang diketuai Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Korps Adhyaksa pun baru berhasil memenangkan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada 27 Maret 2008. Gugatan ini dikuatkan di tingkat banding dan kasasi.
Namun saat kasasi, terjadi salah ketik. Seharusnya Yayasan Supersemar diwajibkan membayar 75 persen dikali USD 420 juta atau sama dengan USD 315 juta dan 75 persen dikali Rp 185.918.904.000 sama dengan Rp 139.229.178.000. Tetapi, putusan kasasi tertulis justru Rp 185.918.904.
Kesalahan ketik ini pun membuat putusan tidak dapat dieksekusi. Kemudian, jaksa melakukan peninjauan kembali (PK) pada September 2013.
Dalam PK ini, mantan Jaksa Agung Basrief Arief memasukkan ahli waris keluarga Soeharto untuk bertanggung jawab, karena Soeharto telah meninggal dunia.
MA lalu mengabulkan permohonan Pemohon PK yaitu Negara Republik Indonesia cq Presiden Republik Indonesia terhadap termohon tergugat HM Soeharto alias Soeharto (ahli warisnya) dan sejumlah kroni nya.
(Kanugrahan)