Kricom - Pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang berisi mandat kepada Letjen Soeharto untuk mengambil segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban yang ketika itu memang sedang kacau pascaperistiwa G30S/PKI.
Sudah 52 tahun berlalu sejak penandatanganannya, Supersemar masih menyisakan kontroversi dan teka-teki yang belum terungkap. Mulai dari belum terlacaknya keberadaan naskah autentik Supersemar, hingga cerita-cerita di balik proses penandatanganan surat sakti tersebut.
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) saat ini menyimpan tiga versi naskah Supersemar, yakni naskah yang diterima dari Sekretariat Negara, Puspen TNI AD, dan dari Yayasan Akademi Kebangsaan. Ketiga naskah tersebut memiliki ciri yang berbeda satu dengan yang lain, bahkan satu di antaranya menampilkan tanda tangan Soekarno yang berbeda dengan dua lainnya.
Lalu, yang mana naskah yang asli? Pertanyaan ini masih belum terjawab hingga saat ini. Ada yang menyebut, naskah asli Supersemar disimpan di luar negeri. Tapi ada juga yang meyakini, naskah autentik sudah dimusnahkan sejak lama. Beberapa pihak juga mengklaim memiliki naskah asli dari Supersemar, namun klaim-klaim tersebut tak dapat dibuktikan kebenarannya.
Kontroversi Supersemar tak sampai di situ saja. Pascakejatuhan rezim Soeharto di tahun 1998, muncul pengakuan mengejutkan dari salah satu mantan pengawal Soekarno, Soekardjo Wilardjito. Beliau mengaku menyaksikan Bung Karno terpaksa menandatangani Supersemar lantaran ditodong pistol oleh Brigjen Basuki Rahmat dan Mayjen Maraden Panggabean.
Terlepas dari kontroversi-kontroversi itu, mandat yang tertuang dalam surat perintah tersebut membuat Soeharto seperti di atas angin. Kalimat "mengambil segala tindakan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban" yang tertuang dalam Supersemar menjadi password sakti bagi Soeharto menuju puncak kekuasaan.
Dikutip dari laman Kompas, peneliti sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Warman Adam menyebut, Soeharto memang berniat melemahkan posisi Soekarno secara politik. "Orang-orang yang menjaga dan loyal pada Soekarno itu disingkirkan. Mereka adalah kekuatan pendukung Bung Karno," tutur Asvi.
Setelah membubarkan PKI, Soeharto memerintahkan penahanan terhadap menteri-menteri yang loyal kepada Soekarno. Mereka ditangkap dengan tudingan terlibat dalam G30S. Tak hanya itu, Resimen Tjakrabirawa yang selama ini bertugas sebagai pengawal Soekarno juga dibubarkan. Soekarno pun akhirnya lengser dari jabatan presiden dan digantikan oleh Soeharto melalui Sidang Istimewa MPRS pada 7 Maret 1967.
Supersemar juga berdampak pada kondisi politik luar negeri. Indonesia saat itu sedang dijadikan ajang berebut pengaruh antara Blok Barat dan Blok Timur yang sedang terlibat perang dingin. Indonesia di bawah Bung Karno, meskipun berstatus Non-Blok, cenderung lebih dekat dengan Blok Timur ketimbang Amerika dan sekutunya.
Haluan berubah ketika tampuk kekuasaan berpindah ke tangan Soeharto. Poros Jakarta-Peking-Moscow-Pyongyang dihancurkan demi merapat ke negara-negara Blok Barat. Bisa dibilang, berpalingnya Indonesia ke pelukan AS dkk merupakan awal dari kekalahan Blok Timur dalam perebutan pengaruh di Asia Tenggara.
Kini, meskipun Soeharto sudah tidak berkuasa, beberapa pihak menilai kebenaran di balik kontroversi Supersemar tetap perlu diungkap demi kepentingan pelurusan sejarah. Akankah suatu saat terkuak?