KRICOM - Sejak menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Indonesia kerap dirundung peristiwa pemberontakan. Salah satunya yang terjadi pada 23 Januari 1950 di Bandung, Jawa Barat.
Percobaan kudeta ini dicetus oleh Raymond Westerling, seorang mantan Kapten pasukan khusus dari KNIL. Konon, Westerling diberhentikan dari KNIL lantaran pembantaian yang dilakukannya terhadap rakyat. Namun ada juga yang menyebut, pemecatan atas dirinya merupakan buah dari perseteruannya dengan panglima tertinggi Belanda di Indonesia saat itu, Jenderal Simon Spoor.
Usai dipecat, Westerling secara diam-diam membentuk milisi bersenjata yang dinamai Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Nama 'Ratu Adil' dipilih berdasarkan Ramalan Jayabaya. Konon, ramalan itu menyebutkan bahwa akan datang seorang ratu adil keturunan Turki yang akan membebaskan rakyat dari tirani. Westerling yang memang memiliki darah Turki mengklaim dirinya adalah perwujudan dari ramalan tersebut.
Namun sebenarnya, tujuan gerakan APRA adalah untuk mempertahankan sistem federal di Indonesia. Diketahui, sejak Konferensi Meja Bundar pada 2 November 1949, Indonesia diakui sebagai negara federal dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Para tokoh nasional rupanya tidak sejalan dengan keputusan KMB dan terus memperjuangkan agar Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan.
Pada 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berisi sebuah ultimatum. Westerling menuntut agar APRA diakui sebagai tentara resmi dari Negara Bagian Pasundan dan mengancam akan melakukan serangan besar-besaran jika tuntutannya ditolak.
Westerling seperti kejatuhan durian runtuh ketika tanggal 22 Januari 1950, sejumlah anggota pasukan khusus KNIL dengan persenjataan berat membelot dari kesatuannya dan memutuskan untuk bergabung dengan APRA.
Lantaran tuntutannya tak dipenuhi, Westerling membuktikan ancamannya. Di pagi hari 23 Januari 1950, dengan kekuatan lebih dari 500 orang, APRA menyerbu kota Bandung. Mereka menembaki setiap anggota APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) yang ditemuinya. Akibatnya, 94 prajurit APRIS dari Divisi Siliwangi tewas dalam pembantaian tersebut. Tak hanya itu, rakyat sipil pun banyak yang menjadi korban.
Penyerangan tersebut direspon pemerintah RIS dengan mengirimkan pasukan dari berbagai daerah. Sementara di Jakarta, Perdana Menteri Moh. Hatta melakukan perundingan dengan Komisaris Tinggi Belanda. Hasil dari perundingan tersebut, Komisaris Tinggi Belanda memerintahkan Komandan tentara Belanda yang ada di Bandung untuk memaksa Westerling dan pasukannya untuk meninggalkan kota kembang. APRA pun angkat kaki dari Bandung sore harinya.
Setelah APRA meninggalkan Bandung, tentara APRIS dengan bantuan rakyat melakukan pengejaran. Tersebarnya gerombolan APRA ke berbagai daerah membuat kekuatan mereka terpecah. Para pemberontak pun dapat dilumpuhkan oleh pasukan APRIS.
Sehari setelahnya, Westerling berencana mengacaukan Sidang Kabinet RIS yang digelar di Jakarta. Dia berniat membunuh dan menculik sejumlah tokoh yang hadir dalam sidang tersebut. Dalam menjalankan aksinya, Westerling mendapat bantuan dari Sultan Hamid II, seorang menteri di Kabinet Indonesia Serikat yang kecewa terhadap Presiden Soekarno lantaran tidak puas dengan jabatan yang diperolehnya.
Namun, rencana busuk ini rupanya tercium oleh badan intelijen RIS. Sidang Kabinet pun dibubarkan lebih awal. Westerling dan pasukannya hanya menemui ruangan kosong ketika mereka menyerbu Jalan Pejambon, tempat dilaksanakannya Sidang Kabinet.
Kegagalan demi kegagalan semakin menyudutkan posisi APRA. Ditambah lagi, sejumlah tokoh yang berada di belakang layar berhasil ditangkap. Westerling pun akhirnya melarikan diri ke Singapura. Dengan kaburnya Westerling, APRA bagaikan anak ayam yang kehilangan induknya hingga akhirnya bubar dengan sendirinya.