Kricom - Situasi sore hari yang tenang di sekitar Orchard Road, Singapura pada 10 Maret 1965 mendadak berubah jadi menegangkan. Sebuah ledakan besar mengguncang gedung MacDonald House, merenggut tiga nyawa dan melukai 33 orang lainnya.
Pelaku pengeboman tersebut adalah Sersan Usman Ali dan Kopral Harun Said. Keduanya merupakan prajurit Korps Komando Operasi (KKO), atau yang sekarang kita kenal dengan nama Marinir.
Sersan Usman dan Kopral Harun (patriot-jiwa.blogspot.com)
Pengeboman ini dilatarbelakangi ketidaksukaan presiden Soekarno atas proses dekolonialisasi Singapura, Sarawak dan Sabah menjadi negara bagian dari Malaysia. Soekarno menganggap penggabungan ini hanyalah bentuk lain dari kolonialisme dan imperialisme yang dapat mengancam keamanan Indonesia.
Indonesia pun mengirimkan sukarelawan dalam misi-misi infiltrasi dan sabotase ke wilayah Malaysia, termasuk Singapura. Pengeboman gedung MacDonald House merupakan bagian dari misi tersebut.
Gedung MacDonald House sekarang (wikipedia)
Dikutip dari Detik, berdasarkan buku sejarah TNI, alasan dipilihnya MacDonald House sebagai salah satu target sabotase lantaran nama MacDonald dianggap sebagai simbol kekuasaan Inggris di Asia Tenggara. Nama tersebut diambil dari Malcolm MacDonald, seorang petinggi jajahan Inggris yang menjadi salah satu pencetus penggabungan Singapura, Sarawak, dan Sabah.
Sersan Usman dan Kopral Harun berhasil meledakkan bom seberat 11,33 kg. Ledakan tersebut menghasilkan lubang besar di lantai, merusak lift, dan menghancurkan sebuah ruangan yang digunakan sebagai kantor The Hongkong And Shanghai Bank. Ledakan dahsyat itu juga memecahkan kaca dari beberapa mobil yang diparkir di luar gedung.
Dua karyawan The Hongkong And Shanghai Bank, Elizabeth Choo dan Juliet Goh, tewas dalam insiden tersebut. Sementara, satu orang korban meninggal lain adalah seorang sopir bernama Mohammed Yasin bin Kesit.
MacDonald House pascapengeboman (www.straitstimes.com)
Usai melancarkan aksinya, Sersan Usman dan Kopral Harun berusaha melarikan diri melalui jalur laut. Nahas, kapal motor yang mereka gunakan untuk kabur tiba-tiba mogok di tengah laut. Kedua prajurit Marinir ini akhirnya tertangkap.
Pada 20 Oktober 1965,Sersan Usman dan Kopral Harun dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Singapura atas pemboman MacDonald House dan dijatuhi hukuman mati. Kasasi yang mereka ajukan berujung pada penolakan.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah Indonesia agar Singapura mau memberikan keringanan hukuman, namun semuanya sia-sia. Sersan Usman dan Kopral Harun menghadapi tiang gantungan pada 17 Oktober 1968.
Singapura menganggap Sersan Usman dan Kopral Harun sebagai teroris. Namun, bagi rakyat Indonesia, yang dilakukan Usman-Harun merupakan aksi heroik melawan imperialisme. Presiden Soeharto yang baru saja mengambil alih kepemimpinan dari Soekarno menganugerahi mereka dengan gelar Pahlawan Nasional.
Eksekusi mati terhadap dua prajurit Marinir tersebut membuat marah rakyat Indonesia. Kedutaan Besar Singapura di Jakarta diamuk massa. Komandan KKO saat itu, Mayjen Mukiyat bahkan menyatakan kesiapan dirinya beserta jajarannya untuk menyerbu negeri singa. Namun, presiden Soeharto berkehendak lain. Beliau lebih memilih untuk tidak melanjutkan konfrontasi dengan Malaysia dan Singapura.
Perdana Menteri Singapura menabur bunga di makam Usman-Harun (news.okezone.com)
Ketegangan antara Indonesia dan Singapura mereda ketika Perdana Menteri Singapura saat itu, Lee Kuan Yew, berkunjung ke Indonesia dan menabur bunga di pusara Harun dan Usman di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
KRI Usman-Harun (radarmiliter.blogspot.co.id)
Indonesia kemudian menyematkan nama KRI Usman-Harun pada salah satu kapal perang terbarunya di tahun 2014. Hal ini sempat menuai protes dari Singapura. Namun, nama Usman-Harun tetap digunakan pada kapal perang hingga saat ini.