Kricom - Hari ini 61 tahun yang lalu, tepatnya pada 2 Maret 1957, sebuah gerakan Perdjuangan Rakjat Semesta (Permesta) dideklarasikan di Makassar. Gerakan ini dicetuskan oleh perwira militer yang bernama Letkol Ventje Sumual.
Gerakan Permesta bertujuan untuk menuntut pemerataan pembangunan. Ketika itu, pemerintah pusat dirasa hanya terfokus membangun pulau Jawa saja. Selain itu, ketidaksukaan atas tumbuh suburnya komunisme di Indonesia kala itu juga menjadi salah satu alasan terbentuknya gerakan ini.
Keberadaan Permesta rupanya tidak disukai oleh mayoritas masyarakat Makassar. Akhirnya, Letkol Ventje memindahkan markas besar Permesta ke Manado.
Letkol Ventje Sumual/tirto.id
Terbentuknya Permesta kemudian disusul oleh deklarasi PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) yang diprakarsai oleh Letkol Ahmad Husein di Padang, Sumatera Barat, pada 15 Februari 1958.
Merasa mempunyai visi yang sama, Permesta kemudian menyatakan dukungannya pada PRRI. Bahkan, pada tanggal 17 Februari 1958, Permesta melalui pimpinan Kodam Sulawesi Utara dan Tengah, Kolonel D.J. Somba menyatakan pemutusan hubungan dengan pemerintah pusat Republik Indonesia.
Mendengar hal itu, pemerintah pusat langsung bereaksi dengan mengumumkan pemecatan tidak hormat dari TNI Angkatan Darat terhadap Ventje Sumual, D.J. Somba, dan sejumlah perwira pendukung Permesta lainnya.
Pasca-pemutusan hubungan tersebut, kekuatan Permesta terus bertambah. Banyak pemuda sipil dan bekas tentara KNIL mendaftarkan diri untuk menjadi bagian dari Angkatan Perang Permesta.
Permesta/www.sinarharapan.co
Sikap Permesta yang antikomunisme rupanya dimanfaatkan Amerika Serikat dan sekutunya. Mereka berniat mendompleng Permesta dalam melancarkan upaya untuk membendung pengaruh komunisme di Indonesia.
Untuk mewujudkan hal itu, Amerika mengirimkan bantuan untuk Permesta berupa pesawat tempur, persenjataan, dan dana operasional. Tak hanya itu, Amerika juga mendatangkan agen-agen CIA dan tentara bayaran dari berbagai negara sekutunya.
Bermodalkan pesawat pembom ringan B-26 Invader dan pesawat tempur P-51 Mustang, Angkatan udara Permesta yang disebut AUREV (Angkatan Udara Revolusioner) ketika itu sempat menguasai wilayah udara Indonesia Tengah dan Timur.
AUREV/www.dc3dakotahunter.com
Khawatir dengan pertumbuhan kekuatan Permesta, pemerintah melancarkan serangkaian operasi militer di wilayah-wilayah yang dikuasai Permesta. Pada akhir Februari 1958, Angkatan Udara Republik Indonesia mulai melakukan pengeboman terhadap lokasi-lokasi yang dianggap menjadi instansi penting bagi Permesta di Manado.
Kota Palu dan Donggala yang sebelumnya dikuasai Permesta berhasil direbut oleh TNI pada Maret 1958. Merespon hal ini, Permesta menyusun serangan balasan. Pada 13 April 1958, AUREV membombardir beberapa kota seperti Makassar, Ternate, Balikpapan dan Donggala. Sebuah kapal perang TNI AL yang sedang bersandar di Balikpapan, KRI Hang Tuah, tenggelam dalam serangan tersebut.
KRI Hang Tuah, kapal perang TNI yang ditenggelamkan AUREV/www.indomiliter.com
Pada tanggal 18 Mei 1958, sebuah pesawat B-26 AUREV yang dipiloti agen CIA, Allen Pope yang baru saja membombardir kota Ambon berhasil ditembak jatuh. Sang pilot selamat dan berhasil ditangkap.
Tertangkapnya Allen Pope dimanfaatkan Presiden Soekarno untuk mendapatkan keuntungan dari Amerika Serikat. Hasilnya, untuk membebaskan Allen Pope, Amerika harus menuruti persyaratan yang diajukan Soekarno, di antaranya mencabut embargo ekonomi dan militer terhadap Indonesia, dan menyuplai berbagai jenis alusista.
Allen Pope diadili di Jakarta, 1959/en.wikipedia.org
Setelah insiden Allen Pope, CIA menarik dukungannya dari Permesta. Kekuatan mereka pun semakin melemah. Pasukan TNI akhirnya berhasil merebut kota-kota penting di Sulawesi.
Akhirnya, pada tahun 1961, petinggi-petinggi Permesta beserta para anggotanya yang tersisa keluar dari persembunyiannya untuk menyerahkan diri. Di tahun itu pun, Permesta dinyatakan bubar.