KRICOM- Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai penetapan status tersangka Ketua DPR, Setya Novanto oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi konsekuensi yang harus diterima Setnov.
Ia pun mengaku tak heran jika sosok Setnov bakal kembali ditersangkakan oleh KPK.
"Penetapan tersangka terhadap Setnov tidak mengherankan karena konsekuensi dari dakwaan terhadap Irman (terdakwa e-KTP) menyatakan bahwa korupsi e-KTP itu berjamaah," kata Abdul saat dihubungi Kricom.id di Jakarta, Minggu (12/11/2017).
Bahkan menurutnya, KPK seharusnya melakukan tindakan tegas dengan langsung melakukan penahanan ketika seseorang sudah ditetapkan menjadi tersangka. Hal itu guna meminimalisir manuver-manuver yang akan dilakukan tersangka dalam melawan hukum.
"Seharusnya begitu ditetapkan (tersangka) KPK langsung melakukan upaya paksa penahanan agar tidak ada manuver-manuver yang lain lagi," katanya.
Berkaca dari penetapan tersangka sebelumnya, Fickar menilai jika KPK harus belajar dari pengalaman sebelumnya. Yang mana dari penetapan pertama status tersangka untuk Setnov, dia berhasil lolos melalui praperadilan yang dimenangkan Hakim Tunggal Cepi Iskandar.
"Soal manuver, saya kira KPK akan belajar dari pengalaman masa lalu. Soal praperadilan hak hukum yang tidak bisa dihalangi. Karena itu KPK harus gerak cepat begitu praperadilan, perkaranya segera dilimpahkan ke pengadilan," tutupnya.
Penetapan tersangka yang dilakukan pada Jumat (10/11/2017) lalu ini menjadi kedua kalinya sosok Setya Novanto sebagai tersangka dalam kasus yang merugikan negara senilai Rp 2,3 triliun.
Sebelumnya, pada bulan Juli 2017 lalu, KPK juga sempat menetapkan Setnov sebagai tersangka untuk kasus korupsi pengadaan proyek e-KTP. Namun, status tersebut gugur dalam praperadilan yang dimenangkan Setnov oleh Hakim tunggal Cepi Iskandar.