KRICOM - Membaiknya atmosfer di Semenanjung Korea seiring dengan persetujuan Amerika Serikat (AS) untuk berdiskusi dengan Korea Utara (Korut) akan tetap menyimpan sebuah bahaya yang terselubung.
Hal tersebut dilaporkan oleh sebuah lembaga pemerhati isu di Korut, 38 North. Dalam sebuah laporan yang dirilis di situs resminya, Selasa (13/3/2018), 38 North memaparkan adanya ancaman serangan siber menjelang digelarnya pembicaraan antara AS dan Korut.
Pengamat Korut, Adam Meyers memaparkan, ancaman serangan siber turut dipicu oleh sikap AS dan sekutu-sekutunya, Korea Selatan (Korsel) dan Jepang, yang sepakat untuk tetap memberlakukan sanksi embargo perdangan terhadap negara penganut Marxis-nasionalis ekstrem tersebut.
"Dengan kemampuan yang dimiliki pihak (Korea) Utara, upaya serangan siber di masa depan diprediksi akan menargetkan finansial negara-negara barat, media, dan basis-basis industri pertahanan," ujar Meyers dalam laporannya.
Serangan siber Korut diprediksi akan lebih mengutamakan pembobolan besar-besaran terhadap lembaga keuangan, termasuk bank dan pencurian data-data dari kontraktor di bidang pertahanan.
"Serangan yang terjadi pada tahun 2016 memperlihatkan para aktor Korut memiliki kemampuan untuk menyerang institusi-institusi keuangan sebagai cara untuk menjaring jutaan dolar," sambungnya.
Lebih jauh lagi, serangan-serangan siber juga menjadi salah satu alat utama Korut untuk membalas provokasi-provokasi dari para rivalnya.
"Serangan siber adalah alat bagi rezim Korut dan juga menjadi alat alternatif untuk menanggapi berbagai provokasi yang mengancam kedaulatan negaranya. Hal-hal semacam ini akan menjadi sesuatu yang kerap muncul dalam beberapa bulan mendatang," pungkas Meyers.
Sebelumnya, Korut juga dituding sebagai pihak yang bertanggung jawab atas serangan WannaCry beberapa waktu lalu. Serangan berbentuk malware tersebut menyerang komputer-komputer bersistem operasi Windows di sejumlah negara, salah satunya di Indonesia.
Para peretas menggunakan WannaCry untuk menyandera dan mencuri data-data penting, kecuali mereka dibayar dengan sejumlah uang dalam mata uang digital, salah satunya Bitcoin.