KRICOM - Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengambil langkah baru dalam menghadapi konfliknya dengan Korea Utara (Korut). Tak hanya membangun sistem persenjataan antirudal, AS dikabarkan akan segera menyusun program penanganan untuk warganya yang terkena sindrom radiasi akut.
Seperti dirilis Reuters, Kamis (1/2/2018), Pemerintah AS melalui Kementerian Pertahanan akan menggandeng pihak-pihak terkait untuk menjalankan program tersebut, salah satunya perusahaan-perusahaan obat. Kabarnya, Washington telah menyiapkan dana hingga US$ 3,9 juta untuk menjalankan program tersebut.
Salah satu perusahaan obat yang berbasis di Israel, Pluristem Therapeutics mengatakan, pihaknya telah dalam tahap akhir dalam pembuatan obat untuk menangani keracunan radiasi nuklir. Obat tersebut akan mampu menangkal atau mengurangi racun radiasi apabila dikonsumsi sebelum terpapar nuklir.
"Leukine, Neulasta, Neupogen hanya 'menyerang' subpopulasi dari sel darah putih. Prapemeriksaan jumlah radiasi dan sejumlah tes darah tidak butuhkan untuk obat jenis PLX-R18 yang pada akhirnya membuat obat ini cocok untuk digunakan oleh situasi genting secara massal," ujar Wakil Presiden Pluristem untuk Divisi Amerika Utara, Karine Kleinhaus.
Namun begitu, menurut laporan yang dirilis sejumlah perusahaan obat yang telah menjalin kerja sama dengan Pemerintah AS, seperti Cleveland BioLabs dan Humanetics Corp mengatakan, program tersebut setidaknya memerlukan dana hingga US$ 13 juta.
Untuk menyiasati minimnya anggaran, sejumlah pihak menyarankan agar Pemerintah AS mengambil dana militer yang telah ditetapkan senilai US$ 700 miliar.
Seperti dikabarkan, perseteruan antara AS dan Korut masih dalam titik tertinggi. Terakhir, Korut mengeluarkan sebuah makalah yang mengatakan bahwa AS mengalami peningkatan dalam kejahatan rasial dan banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia di bawah rezim Presiden Donald Trump.
Tudingan tersebut dipaparkan secara rinci di dalam sebuah makalah berjudul 'Daftar Pelanggaran Hak Asasi Manusia di AS pada tahun 2017'. Makalah tersebut disebarluaskan di kalangan para delegasi internasional di Jenewa, Swiss.