KRICOM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi pernyataan Kabareskrim, Komjen Ari Dono Sukmanto yang mempertimbangkan penghentian kasus korupsi pejabat daerah jika uang hasil korupsi dikembalikan ke kas negara.
"Prinsip dasar kami perlu pisahkan antara pidana dengan administratif. Kalau sifatnya administratif tentu yang disampaikan (Kabareskrim) itu benar. Mungkin konteksnya juga yang dimaksud adalah ke sana ya karena memang ada aturan hukum," kata Febri di gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu (7/8/2018).
Dia mencontohkan, misalnya jika ada temuan kerugian negara maka dalam waktu 60 hari harus segera ditindaklanjuti dan dimungkinkan kasusnya dihentikan bila konteksnya administratif. Namun, KPK tetap mengacu kepada Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
"Saya kira aturannya juga sudah cukup jelas ya mulai dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di Pasal 4 itu mengatur pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapus pidananya seseorang," jelas Febri.
Lebih lanjut, surat edaran yang tertera dari Mahkamah Agung (MA) dengan persetujuan beberapa pihak MA juga memungkinkan bila konteksnya administratif. Sedangkan bila unsur pidana tidak dapat dihapus.
"Ada surat edaran Mahkamah Agung juga yang menyebutkan, seingat saya itu dari rapat kamar beberapa kamar di Mahkamah Agung. Termasuk rapat kamar pidana yang memisahkan antara administratif dan pidana. Kalau administratif silakan saja. Tapi kalau aspeknya pidana tentu yang berwenang adalah penegak hukum," terangnya.
Di sisi lain, Komjen Ari Dono beralasan, penghentian kasus korupsi pejabat daerah dilakukan dengan pertimbangan efektifitas anggaran penindakan korupsi yang ada di kepolisian. Jika hal itu dilaksanakan, maka anggaran proses penyidikan tidak akan terbuang. Apalagi jika kerugian negara lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan polri untuk sebuah penanganan kasus.