KRICOM - Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut menanggapi wacana hukuman pancung bagi para pelaku tindak pidana berat, khususnya kasus pembunuhan di Provinsi Aceh.
Menurut MUI, pihak-pihak terkait wajib memikirkan soal ketersediaan kamar di Mahkamah Agung (MA) yang mengurusi peradilan dengan hukum Islam.
"Jadi apabila Nangroe Aceh Darussalam mau menerapkan jinayah atau peradilan Islam, maka itu harus menjadi persoalan yang perlu pemikiran panjang. Hal itu berkaitan dengan peradilan pidana Islam di MA," kata Ketua Komisi Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikhsan Abdullah saat dihubungi Kricom, Jumat (16/3/2018).
Menurut dia, saat ini tidak ada kamar dan hakim MA yang mengurusi soal hukuman Islam. Padahal ketersediaan kamar dan hakim ini amat penting, supaya memberikan hak bagi terpidana dan korban yang mau mengajukan kasasi.
"Nah, berarti kalau itu mau diterapkan, MA harus bisa mengakomodir dengan membentuk sebuah kamar yang namanya 'Kamar Peradilan Pidana Islam atau Jinayah'," ucap dia.
Memang di Aceh diterapkan hukuman cambuk bagi seseorang yang berbuat zinah. Namun menurut Ikhsan, penerapan hukuman pancung dengan hukuman cambuk adalah sesuatu yang berbeda.
Jika hukuman cambuk, aturan yang dipakai bisa dengan peraturan daerah. Berbeda hal dengan penerapan hukuman pancung. Pasalnya hukuman pancung adalah sesuatu yang berdasarkan tindak pidana yang pengusutannya memakai KUHP.
"Iya jadi prinsip qanun itukan berkaitan dengan masalah Perda. Syariah," ujar dia.