KRICOM - Jaksa Agung, HM Prasetyo mengaku tak setuju dengan wacana hukuman pancung di Aceh. Pasalnya, hukum yang termasuk dalam qisash itu tak tercantum dalam aturan di Indonesia.
"Hukum positif kita tidak mengatur masalah itu. Kami melaksanakan hukuman mati mengacu pada UU Darurat tahun 1964. Jadi itulah yang menjadi acuan kami," kata Prasetyo kepada wartawan, Jumat (16/3/2018).
Meski menjadi wilayah yang dikhususkan, kota yang terkenal dengan sebutan Tanah Serambi Mekkah ini tetap menjadi bagian Indonesia dan harus tunduk pada hukum di Tanah Air.
Menurut Prasetyo, hukum Indonesia mengenai hukuman mati dilakukan dengan cara ditembak yang dilakukan oleh regu tembak Brimob.
"Hukuman mati dilaksanakan di depan regu tembak bukan harus dipancung. Ditembak oleh regu tembak tapi jaksa yang memimpin pelaksanaannya, tidak ada yang lain. Bagi kami, hukuman mati hanya dilakukan di depan regu tembak," tutupnya.
Sebelumnya, wacana hukum pancung di Aceh bertujuan untuk menekan angka kasus pembunuhan di Aceh. Namun seiring dinamika yang muncul di masyarakat, Kepala Bidang Bina Hukum Syariat Islam dan Hak Asasi Manusia, Dinas Syariat Islam Aceh, Syukri mengeluarkan klarifikasinya.
Menurutnya, wacana tersebut hanya sebatas penelitian untuk melihat respon masyarakat. Dari pengakuannya, wacana itu tidak mewakili Pemerintah Daerah Aceh.
"Saya menyampaikan wacana tersebut atas kapasitas pribadi atau sebagai akademisi dan tidak mewakili pemerintah Aceh," jelasnya melalui keterangan tertulis.