KRICOM - Tersangka kasus dugaan korupsi proyek e-KTP Setya Novanto dinilai tengah memainkan strategi baru untuk lolos dari jeratan hukum. Salah satunya dengan pura-pura sakit. Hal itu dilakukan dengan dalih menjadi korban kecelakaan.
Menurut pakar psikologi forensik Reza Indragiri, panggilan pemeriksaan penyidik lembaga penegak hukum tentu saja membuat orang 'ketar - ketir', tak terkecuali sekelas Ketua DPR sekalipun.
''Stres. Ini menjadi reaksi yang manusiawi. Efeknya bisa ke fisik. Psikosomatis, namanya. Yaitu gangguan fisik yang disebabkan faktor psikis," kata Reza di Jakarta, Jumat (17/11/2017).
Namun, di ranah pidana bisa saja orang pura-pura sakit. Sebutannya adalah malingering.
"Ini modus terencana untuk memperoleh insentif eksternal, yaitu ngeles dari proses hukum," imbuhnya.
Reza merujuk pada studi Conroy dan Kwartner (2016) bahwa malingering 'hanya' dijumpai 17% kasus. Namun, angka serendah itu bukan karena insidennya sedikit. Tapi karena sangat banyak atraksi pura-pura sakit para pesakitan yang tidak berhasil dibongkar otoritas penegakan hukum.
"Ini menjadi penanda betapa paten dan ampuhnya siasat malingering untuk memandulkan penegak hukum," tuturnya.
Dia tak menampik, gejala malingering ini dilakukan dengan cara yang nekat dan berani, seperti menabrakkan diri seperti yang dilakukan Setnov.
"Nekat sekaligus absurd. Misalnya membuat benturan di kepala. Karena terbentur, konon terjadi cedera kepala atau otak yang mengganggu fungsi daya ingat. Padahal fungsi ini sangat dibutuhkan dalam proses hukum yang mempengaruhi buruknya ingatan pasien," paparnya.
Atas dasar itu, tersangka yang melakukan malingering sepatutnya disikapi sebagai orang yang tidak kooperatif bahkan mempersulit proses hukum.
"Andai kelak dia divonis bersalah, atraksi malingering-nya patut dijadikan sebagai unsur pemberatan hukuman," tutup Reza.