KRICOM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus melakukan pengembangan kasus terkait dengan kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat Wali Kota Kendari nonaktif, Adriatma Dwi Putra (ADP) dan calon gubernur Sulawesi Tenggara yang juga merupakan ayah dari Adriatma, Asrun.
Setelah sebelumnya memeriksa sejumlah tersangka, kali ini penyidik memanggil Ketua KPU Sulawesi Utara, Hidayatullah untuk dimintai keterangan.
"Yang bersangkutan diperiksa untuk tersangka ADP (Adriatma Dwi Putra)," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah dalam pesan tertulisnya, Selasa (20/3/2018).
Selain Ketua KPU Sultra, KPK juga menjadwalkan pemeriksaan untuk dua saksi lainnya dari pihak swasta. Mereka adalah Direktur PT Kendari Siu Siu, Ivan Santri Jaya Putra dan staf keuangan PT Sarana Perkasa Eka Lancar, Suhar.
Dalam kasus ini, KPK telah menetapkan empat orang tersangka. Mereka adalah Wali Kota Kendari non aktif, Adriatma Dwi Putra (ADP); calon gubernur Sulawesi Tenggara yang juga merupakan ayah dari ADP, Asrun; mantan Kepala BPKAD, Fatmawati Faqih; serta Dirut PT Sarana Bangun Nusantara (SBN), Hasmun Hamzah.
Ke empatnya ditangkap di tempat berbeda. Adriatma Dwi Putra diamankan penyidik KPK di Rumah Dinas Wali Kota Kendari. Sedangkan ayahnya, Asrun diamankan di rumah pribadinya. Begitu juga dengan dua tersangka lainnya yang diamankan di rumah masing-masing.
Keempatnya ditersangkakan terkait pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkot Kendari tahun 2017-2018 dan menemukan barang bukti berupa uang senilai Rp 2,8 miliar. Uang tersebut diduga diperuntukkan untuk modal kampanye Asrun sebagai calon gubernur Sultra periode 2018-2023.
Atas perbuatannya, Hasmun Hamzah sebagai pihak pemberi disangkakan dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan, Wali Kota Kendari, Adriatma Dwi Putra (ADP), Asrun dan Fatmawati Faqih sebagai pihak yang diduga menerima suap dijerat dengan Pasal 11 atau Pasal 12 huruf a atau b Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.