KRICOM - Terpidana kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung (MA) karena selaku pemohon, Ahok menganggap ada kekhilafan hakim.
Dia mengajukan PK (karena) menganggap ada kekhilafan hakim, itu Pasal 263 KUHAP. Ada kekeliruan yang nyata.
Kekhilafan hakim yang dimaksud pemohon terkait putusan kasus pelanggaran UU ITE Buni Yani. Pihak pemohon PK menganggap ada pertentangan fakta-fakta dan kesimpulan hakim di kasus Buni Yani dan Ahok.
Menanggapi hal itu, Ketua Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA), Eggi Sudjana yang juga pengacara Habib Rizieq Shihab menilai, referensi Peninjauan Kembali (PK) itu tidak nyambung.
"Begini, kalau alasannya atas putusan Buni Yani itu tidak berhubungan secara ilmu hukum, karena hakim yang mengadili dia berbeda, kasusnya berbeda, (Hakim yang mengadili Buni Yani) tidak mengadili Ahok," ujar Eggi di ruang kerjanya, di Jalan Tanah Abang III, Jakarta Pusat, Senin (19/2/2018).
Eggi menambahkan, PK ini yang dimaksud adalah adanya kekhilafan hakim, penerapan hukum yang berbeda, dan bukti baru on the track harus kasus dari si Ahok sendiri, bukan kasus orang lain.
Eggi menilai justru kekhilafan hakim terjadi pada kasus Buni Yani karena hakim memvonis hukuman penjara selama 1,5 tahun. Padahal, Ahok terbukti melakukan ujaran kebencian atas pernyataan Buni Yani.
"Karena yang dipersoalkan adalah Buni Yani seharusnya bebas, karena apa yang diomongkan Buni Yani tentang Ahok benar adanya. Apa buktinya? Ahok dihukum. Nah logikanya kan harus bebas, " ujar Eggi.
Eggi pun meminta Mahkamah Agung menolak PK Ahok. "Iya harus ditolak. Keputusan MA harus dipertanyakan (menerima PK Ahok), minimal ilmu hukum apa yang dia pakai, coba jelaskan secara intelektual," ujarnya.