KRICOM - Pembahasan legislasi di Senayan mulai menggemparkan masyarakat sipil ketika Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mencuat. Apalagi terdapat ketentuan pidana mengenai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, kepala Negara dan Wakil Kepala Negara Sahabat, serta penghinaan terhadap Pemerintah.
Koordinator Pehimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, Julius Ibrani menilai, secara teoritis dan praktis, pemidanaan atas penghinaan terhadap Presiden di RKUHP, DPR serta Anggota DPR yang tercantum di revisi UU MD3 akan menimbulkan kontroversi.
"Karena selain multitafsir tanpa indikator yang jelas, juga akan terjadi overkriminalisasi terhadap masyarakat dari berbagai kalangan, mulai dari aktivis, pers atau jurnalis, pengamat hukum dan atau politik, bahkan sampai peneliti," kata Julius di Jakarta, Rabu (14/2/2018).
Menurut Julius, demokrasi akan mengalami stagnansi ketika masyarakat dibayang-bayangi ketakutan dalam memberikan kritik terhadap orang yang mereka pilih.
Sepanjang tahun 2017 saja, lanjutnya, tercatat kehadiran anggota selama masa sidang paripurna hanya 41,43 %, dan hanya 12 % RUU yang berhasil disahkan (5 RUU dari 50 RUU yang masuk dalam prolegnas).
Padahal dari sisi anggaran mengalami kenaikan signifikan, dari sekitar Rp 3,7 triliun di 2016 ke Rp 4,8 triliun di tahun 2017. "Bagaimana bisa untuk tidak dikritik?" papar Julius.
Julius menegaskan, sudah terjadi sesat pikir dalam rangka menjaga kehormatan baik untuk presiden maupun DPR atau anggota DPR.
"Seharusnya tak membuat aturan di mana siapa saja yang berpendapat, berekspresi dan lain-lain tentang Presiden dan Anggota DPR dapat dianggap menghina dan dipidana. Ini pikiran sesat dalam konteks 'menjaga kehormatan'," tandasnya.