KRICOM - Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Soesatyo (Bamsoet) menyinggung sikap Kepolisian Republik Indonesia terhadap upaya pemanggilan paksa yang sempat diwacanakan Pansus Hak Angket KPK kepada Miryam S Haryani beberapa waktu lalu.
Dalam UU MD3 Nomor 17 Tahun 2014, DPR berwenang memanggil paksa seseorang guna dimintai keterangan. Pemanggilan tersebut dilakukan jika seseorang terus melayangkan penolakan datang.
"Soal pemanggilan paksa, DPR punya kewenangan panggil paksa seseorang jika tidak hadir dipanggil. Undang-Undang mengamanatkan panggil paksa atas bantuan Polri dan tidak boleh menolak atas Undang-Undang itu," kata Bamsoet saat raker bersama Polri di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (12/10/2017).
Bamsoet tak menampik jika upaya pemanggilan paksa belum diatur dalam hukum acara. Hanya, hal tersebut bukan berarti menjadi alasan Polri menolak membantu DPR dalam memanggil paksa seseorang.
"Walau belum ada hukum acara, saya yakin ada ruang Undang-Undang (MD3)," lanjutnya.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Muhammad Tito Karnavian mengaku perlu mengkaji terlebih dahulu sebelum melakukan pemanggilan paksa seperti dalam UU MD3.
"Prinsipnya Polri, kami pertimbangan dan bicarakan intenal. Kira-kira apa langkahnya, termasuk undang ahli. Jangan sampai ini jadi bumerang dan kami disalahkan olah berbagai pihak," tegas Tito dalam kesempatan yang sama.
Berdasarkan UU MD3, jika seseorang menolak dilakukan upaya paksa, maka bakal dilanjutkan dengan penyanderaan. Namun demikian, Polisi pada praktiknya tetap mengacu Undang-Undang KUHAP.
"Persoalannya di KUHAP tidak mengenal panggil paksa DPR, termasuk istilah penyanderaan. Ini yang akhirnya membuat polisi ragu," pungkasnya.