KRICOM - Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo bekerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) guna mencegah terorisme dan aksi radikalisme di seluruh wilayah Tanah Air. Salah satunya dengan pemanfaatan data kependudukan KTP elektronik berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) tunggal.
Melalui Ditjen Disdukcapil, Kemendagri akan memberikan data dan informasi kependudukan yang membantu BNPT dalam pengawasan intelijen dan penanganan terorisme sesuai peraturan yang berlaku.
"Saat ini terdapat 262 juta lebih warga yang wajib melakukan perekaman e-KTP. Di mana 160 juta lebih di antaranya sudah memiliki e-KTP," kata Tjahjo di Hotel Aryaduta, Kwitang, Senen, Jakarta Pusat, Senin (12/3/2018).
Sementara itu, Kepala BNPT, Komjen Suhardi Alius mengatakan, masalah keamanan dalam negeri terkait pencegahan dan penanggulangan terorisme bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau BNPT semata.
“Seluruh komponen wajib lawan aksi radikalisme. Radikalisme dipacu ideologi, penjajahan, neoliberalisme, ketidakadilan global kalau dari pengaruh luar negeri. Sedangkan pengaruh di dalam negeri berawal dari kekecewaan dan ketidakadilan,” kata Suhardi.
Mantan Kabareskrim Polri itu melanjutkan, tak selamanya penanganan masalah terorisme bisa dilakukan dengan metode hard approach (pemberantasan dengan penangkapan) yang selama ini dilakukan, namun juga perlu upaya-upaya lainnya.
“Kerja sama dengan Kemendagri bisa mengantispasi semua pergerakan mantan napiter (napi terorisme) dan returnis (WNI yang terlibat aksi teror di luar negeri, misal Suriah) yang kembali ke daerah asal mereka. Tolong jangan dipersulit ke depannya jika ada mantan napiter yang akan membuat e-KTP,” kata Suhardi yang mengenakan kemeja putih ini.
Keberadaan atau aktifitas mantan napiter, lanjut Suhardi, bisa dideteksi dengan kepemilikan data kependudukan yang berbasis e-KTP.
Terlebih saat ini NIK pada e-KTP sudah terintegrasi dengan data nomor telepon seluler setiap individu. Untuk meminimalisir terulangnya aksi terorisme, sambungnya, BNPT sudah menyerahkan 600 lebih daftar nama mantan napiter kepada Kemendagri.
"Kebijakan itu untuk memetakan posisi dan aktivitas mantan napiter agar tidak kembali ke jaringan kelompok terorisme," tutup Suhardi.