KRICOM - Netralitas TNI-Polri masih diragukan dalam mengamankan gelaran Pilkada serentak 2018. Bukan tanpa alasan, menurut Direktur Imparsial Al Araf, hal ini disebabkan karena ada beberapa kandidat dari TNI-Polri yang bersaing di Pilkada 2018.
Al Araf menilai jika berpihaknya aparat penegak hukum kepada salah satu calon kepala daerah ini dilakukan dengan cara mobilisasi massa dan penggunaan sumberdaya yang dimilikinya. Sehingga akan mengancam kehidupan demokrasi dan keamanan pelaksanaan Pilkada itu.
"Tugas TNI dan Polri adalah untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara supaya tak difungsikan untuk berpolitik. Penegasan tentang larangan bagi anggota TNI dan Polri aktif tidak boleh berpolitik telah diatur secara jelas dalam Undang-undang No 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-undang No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia," kata Al Araf di Jakarta, Kamis (18/1/2018).
Al Araf menegaskan, sudah menjadi keharusan bagi aparat keamanan untuk menjaga profesionalitas mereka baik itu menjelang maupun pada saat pelaksanaan Pilkada 2019 dan Pemilu 2019.
"Pemihakan pada salah satu kandidat, upaya pemanfaatan situasi sosial-politik untuk tujuan lain. Ini bentuk penyimpangan lain dari profesionalismenya. Jadi harus dicegah dan dihindari," imbuhnya.
Selain itu, larangan untuk berpolitik di dalam UU Polri dan UU TNI itu mensyaratkan kepada para anggota untuk tidak melakukan langkah-langkah politik atau manuver politik sebelum mengundurkan diri jika mencalonkan menjadi kandidat dalam Pilkada.
"Sepanjang mereka masih menjadi anggota TNI-Polri aktif mereka tidak boleh melakukan kampanye politik dan langkah-langkah politik lainnya," pungkasnya.