KEMESRAAN yang penuh cinta serta dialog antara hamba dengan Tuhannya yang seharusnya sangat personal itu terusik. Kekhusyukan yang syahdu di ruang privat yang semestinya damai dan tenang itu sontak jadi gaduh dan dipenuhi lengking ketakutan. Dan Gereja St. Lidwina di Sleman, Yogyakarta menjadi saksi kebengisan oknum 'cekak otak' yang tak bertanggung jawab itu.
Semua menarik napas dalam dan menghelanya panjang-panjang seraya mengelus dada. Kenapa tindakan jahiliyah ini masih saja terjadi? Dan peristiwa di Sleman itu semakin menambah panjang kasus aksi intoleransi yang terjadi dalam setengah bulan ini.
Awalnya adalah penganiayaan yang dialami pimpinan Ponpes Al-Hidayah Cicalengka, disusul penganiayaan terhadap Komandan Brigade PP Persis, pembatalan paksa bakti sosial sebuah gereja di Yogyakarta, dan persekusi seorang biksu di Tangerang.
Sikap masyarakat pun terbelah menyikapi peristiwa yang memilukan ini. Sebagian menganggap kejadian itu adalah murni tindak kriminal dan tak ada kaitannya dengan hal-hal lain di luar itu. Bahwa itu semua terjadi karena kedunguan dan kebodohan si pelaku. Mungkin saja karena orang itu mainnya kurang jauh, pulangnya kurang larut, dan buku bacaannya kurang tebal sehingga cakrawala hatinya menjadi sempit.
Alasan itu sangat masuk akal dan tentu bisa diterima. Bisa jadi pelakunya memang 'terbelakang' secara pikiran, mental, dan spiritual, seperti layaknya 'katak dalam tempurung' sehingga tak melek dunia dan merasa paling benar dengan kacamata kudanya.
Lalu, bagaimana jika sebagian yang lain menganggap rentetan peristiwa itu terjadi karena adanya gerakan terorganisir yang mencoba memancing di air keruh? Isu SARA, utamanya agama menjadi isu yang sangat gampang digoreng untuk memanaskan hati dan memecah belah umat untuk tujuan tertentu. Siapa tahu.
Tentu tak ada salahnya jika semua pihak waspada dengan kemungkinan tersebut -meski kita tak berharap begitu- karena mencegah lebih baik daripada mengobati. Seandainya para pelaku atau kelompok pengusung isu SARA dan radikal itu tak diberi 'panggung', niscaya mereka akan kecewa karena ternyata rakyat Indonesia tidak sebodoh itu.
Atau mungkin mereka -orang-orang intoleran- itu lupa bahwa pemilik kebenaran sejati adalah Tuhan sehingga dia merasa paling benar dan berani menyerobot hak Tuhan yang paling berhak menentukan siapa masuk surga dan siapa langgeng di neraka.