KRICOM - Berkaca dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76 PUU-XII Tahun 2014, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Setya Novanto memilih mangkir dari panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setnov beranggapan, KPK tidak kantongi izin presiden untuk memeriksanya dalam kasus korupsi.
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menuturkan, putusan MK tidak berlaku untuk tindak pidana khusus yang ditangani KPK.
"Bahwa putusan MK itu tidak berlaku untuk tindak pidana khusus. Jadi, KPK firmed tidak perlu menunggu izin presiden," kata Refly ditemui di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Senin (6/11/2017).
Ia menuturkan, alasan Setnov yang meminta KPK melampirkan surat izin dari presiden tidak memenuhi syarat sebagaimana penafsiran hukum asas lex specialis derogat legi generali.
Sebagai informasi, lex specialis derogat legi generali yakni asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus atau lex specialis, mengesampingkan hukum yang bersifat umum atau lex generalis.
Menurut dia, KPK merupakan institusi yang berbeda dengan aparat penegak hukum seperti polisi dan jaksa. Komisi antirasuah dalam mengusut korupsi memiliki aturan tersendiri, yakni UU tentang KPK.
"Maka sepanjang UU KPK itu bersifat lex specialis dan sesuai praktik selama ini, KPK tidak perlu izin presiden dalam melakukan pemanggilan," terangnya.
Sedianya, hari ini Setnov mendapat panggilan dari KPK, dia dimintai keterangan terkait kasus korupsi e-KTP dengan tersangka Direktur Utama PT Quadra Solution, Anang Sugiana Sudihardjo.
Pengacara Setnov, Frederich Yunadi menyebut, kliennya punya alasan tepat tidak memenuhi panggilan KPK. Menurutnya, memintai keterangan Setnov oleh institusi penegak hukum seperti KPK, harus seizin Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi).
"Ini kan Undang-Undang, sesuai dengan putusan MK 76/PUU-XII tahun 2014 Pasal 245 itu konstitusional dan mewajibkan pemanggilan terhadap ketua dewan maupun anggota dewan harus izin dari Presiden," kata Frederich saat dihubungi.