Kricom - Ketika Korea tengah sibuk membuat drama-drama teranyar, Indonesia tak kalah sibuk berkat hadirnya drama ‘Papa’. Ketika masyarakat dunia, termasuk Indonesia beramai-ramai menyampaikan orasi bela Palestina, drama Papa masih tetap jadi perbincangan dalam kadar yang sangat tinggi. Bukan cuma dibicarakan, malah jadi bahan olok-olok. Padahal itu bisa dikategorikan dan termasuk ke dalam ujaran kebencian atau bahasa kerennya hate speech. Wow, betapa hebatnya pengaruh Papa di Indonesia. Mulai dari pemuda, orang tua, pria, wanita, dan remaja dari berbagai kalangan turut mengomentari drama Papa ini. Sebenarnya, siapa sih Papa ini?
Papa adalah istilah untuk menyebut mantan Ketua DPR, Setya Novanto. Dan sekarang, Setnov tengah menjalani proses persidangan kasus korupsi KTP Elektronik. Bukan hanya kasusnya yang menimbulkan kontroversi, bukan hanya begitu terkejutnya masyarakat Indonesia dengan munculnya kasus ini, dan bukan hanya KPK yang sibuk pontang-panting membongkar kasus ini, tapi rekayasa demi rekayasa yang berujung istilah drama sang Papa juga menjadi sorotan publik.
Betapa tidak, setelah belangnya ketahuan dan dijadikan tersangka oleh KPK, Papa mulai menyusun rencana pengelabuan yang bahkan tidak masuk akal. Ya, wajar kalau masyarakat langsung mencibir. Karena faktanya memang terdapat banyak kejanggalan dari setiap drama yang dia lakukan.
Pada kesempatan pertama kalinya, drama yang disuguhkan adalah ketika Setnov tiba-tiba sakit parah hingga harus dirawat di rumah sakit dengan perawatan yang sangat intensif. Hal ini dibuktikan dari postingan foto istri Papa yang sedang berdiri di sampingnya, dan melihat sang suami terbaring dengan setumpuk peralatan medis yang menghinggapi hampir seluruh tubuhnya. Harapan Papa pada awalnya mungkin berupa simpati publik, namun yang didapat malah sebaliknya. Cibiran datang dari berbagai penjuru. Heran, mengapa bisa sampai begitu, orang sakit kok malah dihujat.
Masyarakat Indonesia ternyata bukan orang-orang yang lemah dan mudah percaya begitu saja. Terbukti, mereka cukup jeli bahkan kritis menanggapi postingan foto tersebut. Komentar-komentar miring masyarakat menjadikan foto tersebut viral di media sosial dan menjadi trending topik bagi semua kalangan.
“Kenapa si ibu senyum lihat suaminya sakit parah begitu?”, “Pakai alat deteksi jantung tapi detaknya tidak ada, inalillahi…”, “Turut berduka Pak, detak jantungnya sudah tidak ada”, dan masih banyak komentar lain. Foto tersebut ramai dengan komentar yang menyatakan turut berduka cita.
Drama kedua yang disajikan Papa dengan alur yang sangat menarik. Skenarionya ditulis dengan sangat apik juga dramatis. Setelah melalui proses pemanggilan ketiganya dan masih tak kunjung mendatangi KPK, akhirnya Papa dijemput paksa oleh tim KPK. Namun, KPK hanya mendapatkan ‘zonk’ ketika sudah sampai di rumahnya. Sang Papa tidak berada di rumahnya pada malam penjemputan paksa tersebut.
Santer dikabarkan bahwa Setnov sejatinya sudah mengetahui akan dijemput paksa oleh KPK untuk diperiksa. Namun, ternyata dia menggunakan siasat baru yang kembali memicu hujatan atas nama beliau. Masyarakat dibuat gempar dengan adanya foto sebuah mobil keluaran Toyota berwarna hitam yang menabrak tiang listrik hingga bagian depan mobil tersebut renyek.
Berita ini membuat heboh banyak pihak setelah diketahui bahwa mobil tersebut adalah mobil Papa Setnov. Sang Papa saat kejadian memang berada di dalam mobil yang menabrak tiang listrik. Beliau dikabarkan menderita luka yang cukup serius. Entah serius yang bagaimana, namun katanya benar-benar serius.
Kemudian, terbitlah foto terbaru yang menggambarkan kondisi Papa tengah terbaring dengan jidat kanan diperban, dan selang-selang yang menjuntai mengitari tubuh. Foto kali ini makin membuat masyarakat jengkel melihat ulahnya. Berdasarkan fakta yang terlihat, sangat banyak kejanggalan yang hadir pada kejadian tersebut. Sampai-sampai banyak dokter yang ikut mengomentari postingan foto tersebut menyatakan bahwa tindakan yang diambil dokter dalam menangani sang Papa merupakan tindakan yang salah dan perlu mengingat kembali sumpahnya sebagai dokter.
Begitu banyak kejanggalan pada kejadian mobil Papa yang menabrak tiang listrik. Mulai dari arah mobil yang bisa menabrak tiang dan sopir mobil yang tidak terluka sedikit pun. Namun anehnya Papa Setnov yang notabene duduk di bangku belakang mengalami memar dan trauma sampai lemah tidak sadarkan diri. Bibit-bibit kecurigaan pun mulai muncul satu per satu yang diperkuat dengan pernyataan pengacara Setnov yang seakan tidak jejeg pada pendiriannya.
Drama Papa Setnov ini ternyata berlanjut sampai pada proses persidangan perdananya pada Rabu, 13 Desember 2017. Saat itu, Setnov membuat proses persidangan menjadi alot dan menuai protes dari Jaksa maupun Hakim. Pasalnya, Papa Setnov mendadak banyak membisu ketika ditanya oleh Hakim. Rupanya beliau mengaku sedang dalam kondisi yang tidak sehat karena bolak-balik diare sampai 20 kali. Pernyataan ini bertentangan dengan keterangan yang diberikan Jaksa, yakni hanya 2 kali diare. Jaksa juga menuduh bahwa Setnov sedang berpura-pura sakit. Pasalnya, empat orang dokter yang dihadirkan pada proses persidangan tersebut semua menyatakan bahwa Setnov dalam kondisi yang sehat dan mampu menjalani persidangan. Kejadian ini turut mengundang rasa prihatin warga yang menyatakan bahwa Papa Setnov tidak pantang menyerah untuk menyudahi drama yang ia buat ini.
Keadaan seperti ini melukiskan wajah dunia politik Indonesia yang semakin carut-marut. Bagaimanapun keadilan harus ditegakkan dan masyarakat menuntut hal itu. Drama Papa muncul menghiasi layar kaca dan menjadikan masyarakat Indonesia makin kritis. Bagus sih, jadi pembelajaran khususnya bagi generasi muda untuk berani mengungkap ketidakadilan yang semakin hari semakin berkembang biak.
Teruntuk Papa, tidak lelahkah Anda membuat skenario drama baru yang telah menyedot perhatian publik dengan kejanggalan-kejanggalannya? Tidak lelahkah Anda berupaya sekuat tenaga berakting dengan peran yang selalu saja sakit? Tidak lelahkah Anda membuat masyarakat menjadi gemar mencibir dan melakukan ujaran kebencian?
Sebenarnya, kami yang salah telah melontarkan ujaran kebencian itu, atau memang Anda yang patut kami benci? Tidak lelahkah Anda, Pak?
(Firmanda Ayu Andika Putri)