KRICOM - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Fahri Hamzah membandingkan kasus yang menjerat Ketua DPR RI Setya Novanto dengan kasus mantan Direktur Utama PT Pelindo, RJ Lino.
Fahri merasa heran dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Padahal, RJ Lino sudah ditetapkan tersangka oleh KPK tapi tidak langsung ditahan, bahkan kini berkeliaran.
"Kenapa RJ Lino bebas? Kenapa Novanto diburu-buru sampai malem? Dikejar-kejar, kerahkan Brimob, kerahkan polisi," kata Fahri saat ditemui wartawan di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Kamis (22/11/2017).
Dia merasa, ada kesamaan antara kasus RJ Lino dengan Setnov. Keduanya sama-sama dikenakan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atas nama tersangka.
Dari jeratan pasal itu, penyidik KPK wajib menemukan kerugian negara akibat kasus korupsi. Fahri menerangkan, dalam kasus Setnov, tidak muncul kerugian negara. Sementara, dalam kasus yang menyeret RJ Lino, ditemukan kerugian negara sebesar Rp 4,08 Triliun. Kerugian negara itu juga diperkuat dari audit Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).
Sayangnya, lanjut Fahri, perlakuan tidak adil justru diterima Setnov dengan terus diburu-buru KPK.
"Ini tidak adil. Padahal penegakan hukum itu tidak harus adil tapi nampak adil," geramnya.
Lantas dia mengingatkan, jika kasus hukum yang menyeret Setnov kental muatan politis. Kuat dugaan, muatan politis terkait dengan karcis Golkar dalam pertarungan Pemilihan Presiden 2019.
"Karena itu saya katakan ini politik, ini adalah rebutan karcis Golkar dan ini kaitannya dengan Pilpres 2019," pungkasnya.