KRICOM - Adanya mahar politik di pertarungan Pilkada Serentak 2018 diindikasikan sebagai persiapan partai politik untuk menghadapi Pemilu 2019. Bukan tanpa alasan, menurut Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Divisi Korupsi Politik, Almas Syafrina, untuk berlaga di ajang politik lima tahunan itu diperlukan biaya yang besar.
"Kami khawatir kontestasi Pilkada 2018 diperjual-belikan untuk mendanai pemilu 2019 dari sumber ilegal," kata Almas Syafrina kepada wartwan di Jakarta, Selasa (16/1/2018).
Almas menduga jika parpol nekat melakukan ini karena sempitnya rentang waktu Pilkada 2018 dengan Pemilu 2019.
"Itu menunjukkan tidak ada waktu lagi parpol menghimpun dana pemilu," imbuhnya.
Almas pun mendesak Bawaslu untuk menindaklanjuti berbagai dugaan mahar politik yang terjadi. Apalagi, saat ini sanksi mengenai parpol yang meminta imbalan sudah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Pilkada.
Di mana calon yang terbukti memberi mahar bisa didiskualifikasi. Sementara parpol bisa dilarang mengajukan calon pada periode berikutnya di daerah yang sama. Bahkan, oknum di parpol yang menerima imbalan bisa dipidana.
"Ini bisa jadi pertama kalinya dalam sejarah sanksi tersebut diterapkan dalam pemilu," tuturnya.
Seperti diketahui, belakangan ini publik dikejutkan dengan pernyataan mantan Bacagub Jawa Timur La Nyalla Matalitti yang mengaku dimintai uang Rp 40 Miliar oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Tak hanya hanya itu, di Pilkada Cirebon, Brigjen Siswandi mengaku gagal dicalonkan oleh Partai Keadilan Sejahtera karena diminta mahar.