KRIMINALITAS.COM, Jakarta - Jelang pemilu serentak pada 2019 mendatang, Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai masih menyisakan pekerjaan rumah yang dianggap janggal dalam kaitannya dengan penyelesaian sengket pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Salah satu putusan yang cukup menyita perhatian adalah putusan MK yang memenangkan pasangan Natalis Tabuni dan Yann Robert Kobogoyauw sebagai pemenang Pilkada Kabupaten Intan Jaya 2017.
Padahal, menurut hasil penghitungan KPUD Intan Jaya, pemenang Pilkada tahun 2017 yang tertuang dalam berita acara Nomor 7/BA/KPU IJ/II/2017, adalah paslon nomor urut dua, Yulius Yapugau dan Yunus Kalabetme.
Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengevaluasi kinerjanya dalam menghadapi pemilu serentak agar dalam menangani sengketa pilkada tidak menimbulkan masalah baru.
"Bagi saya, ini permasalahan fundamental. Saya mendesak kepada MK untuk keluar dari pakemnya, lepas baju konvensionalnya dan jelaskan kepada publik. Jangan karena di timur Indonesia kemudian bisa seenaknya," kata Margarito di kawasan Cikini, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (16/9/2017).
Berdasarkan data, ada pergeseran suara di dua kecamatan di Intan Jaya. Dari daftar pemilih tetap yang berjumlah 567 suara, berubah menjadi 14.881 suara yang dihitung MK.
"Ini kan gila, bagaimana MK bisa mendapatkan suara yang selisihnya lebih dari ribuan itu?" sambungnya.
Selain itu, masalah lain yang luput dari pantauan publik adalah adanya permohonan pengajuan perkara Pilkada ke MK yang melebihi ketentuan undang-undang.
"Di Undang-Undang sudah jelas bahwa batas waktu permohonan sengketa tidak lebih dari tiga hari setelah rekapitulasi KPU. Di sini menarik, ada pihak yang ikut mengajukan perkara di Intan Jaya setelah putusan sela. Itu enggak sesuai dengan Undang-Undang," jelasnya.
Kejadian di Intan Jaya, lanjutnya, harus ditangani secara serius agar tak terulang pada gelaran pilpres dan pilkada yang sudah di depan mata, termasuk tentang ketaatan dalam menerapkan aturan Judicial Review (peninjauan ulang) dalam perkara sengketa Pilkada.
"Menurut saya, kita mesti buka kemungkinan JC yang dibatasi. Harus diperjelas. Okelah di Intan jaya sudah tidak bisa diubah, tetapi apakah ini akan terjadi lagi di kemudian hari (pemilu serentak 2019?," keluhnya.
Seperti diketahui, pasca hasil putusan MK pada 28 Agustus 2017 lalu terhadap gelaran Pilkada Intan Jaya yang berlangsung 15 Febuari 2017 lalu menimbulkan konflik hebat di tanah Papua. Bahkan, sedikitnya ada tiga warga yang meninggal akibat bentrok antara dua pendukung calon bupati dan wakil bupati Intan Jaya.
Akibat putusan MK tersebut, aparat kepolisian dari Mabes Polri mengirimkan satu kompi Brimob ke Kabupaten Intan Jaya dan satu pleton anggota Brimob dari Jayapura.