KRICOM - Munculnya Pasal 263 tentang Penghinaan terhadap Presiden dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) per Januari 2018 ditanggapi beragam. Dalam pasal itu diatur bahwa seseorang yang menghina presiden dimuka umum terancam pidana lima tahun penjara.
Anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP fraksi Nasdem, Taufiqulhadi memastikan, Pasal 263 tidak akan mengancam kebebasan berpendapat. Dia menerangkan, kritik yang dilayangkan seseorang ke presiden tidak masuk dalam delik pidana.
"Jadi misalnya orang itu mengkritik, itu tidak berlaku. Jadi kalau menghina saja. Menghina itu kan berbeda dengan mengkritik. Mengkritik itu berkaitan dengan kinerja presiden," kata Taufiqulhadi di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (7/2/2018).
Dia mencontohkan, seperti kejadian kritik yang dilayangkan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI), Zaadit Taqwa, kepada Jokowi. Zaadit tidak terancam pidana meskipun melayangkan 'kartu kuning' kepada Jokowi.
"Misalnya kalau mahasiswa kemarin itu mengritik kebijakan di Asmat. Itu tidak bisa diambil tindakan karena itu termasuk kritik," lanjutnya.
Menurut Taufiqulhadi, kritik dengan hinaan adalah hal yang berbeda. Karena hinaan berkonotasi menjelek-jelekkan presiden tanpa dasar kuat. Contohnya, seperti mencibir asal-usul ibu presiden yang tidak jelas.
"Kalau mengatakan presiden itu ibunya tidak jelas, itu menghina. Berbeda sekali dengan kritik. Kalau menghina itu sesuatu yang tidak ada dasarnya dan tidak ada penjelas apa pun. Hanya rasa kebencian saja. Tetapi kalau kritik itu ada penjelasannya," tuturnya.
Senada dengan Taufiqulhadi, Anggota Panja RKUHP fraksi Golkar, Adies Kadir memastikan, pasal penghinaan presiden tidak membungkam pendapat rakyat. Demonstrasi para mahasiswa, dia menjamin tidak akan dikenai pemidanaan.
"Tapi kalau adik-adik mahasiswa melakukan demo, itu tidak masalah. Presiden juga tidak akan berpikir untuk menuntut. Misalnya kaya kemarin, disemprit kartu kuning. Itu kan kritik membangun," pungkasnya.