KRICOM - Draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang digodok Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah, menuai perbincangan luas. Terlebih dalam draf RKUHP per Januari 2018 terdapat Pasal 263 ayat (1) tentang Penghinaan Terhadap Presiden.
Pakar Hukum Pidana, Yunus Adhi Prabowo heran pasal penghinaan terhadap presiden kembali muncul. Padahal pasal ini dianggap sebagai pasal karet.
"Pasal ini dianggap tidak memiliki tolak ukur yang jelas dan bisa dijadikan alat represi pemerintah yang berpotensi mengekang kebebasan rakyat untuk berekspresi dan berpendapat sehingga sebagai perwujudan demokrasi, pasal ini harus dihapuskan," katanya kepada Kricom, Kamis (8/2/2018).
Pria yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Himpunan Advokat Muda Indonesia ini menuturkan, pasal penghinaan terhadap presiden tidak memiliki standar baku terkait hal-hal yang dianggap menghina.
Jadi selama perbuatan tersebut dianggap bertentangan dengan kedudukan atau kebijakan presiden dapat dianggap sebagai penghinaan.
"Pasal ini bisa menjadi alat oleh penguasa untuk membungkam rakyat yang notabene dibutuhkan sebagai fungsi kontrol terhadap kebijakan pemerintah," ungkapnya.
Selain itu, pasal penghinaan terhadap presiden pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006. Jika pasal itu kembali dihidupkan merupakan kemunduran dari kepercayaan keputusan MK.
"Ini merupakan kemunduran dari kepercayaan putusan MK yang memiliki kewenangan menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," pungkasnya.