KRICOM - Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon menganggap Pasal 263 ayat (1) tentang Penghinaan Terhadap Presiden tak perlu masuk dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Fadli memaparkan empat alasan kenapa dirinya menolak pasal tersebut. Alasan pertama terkait dengan latar belakang pasal yang bertentangan dengan demokrasi.
"Pertama, soal latar belakang. Munculnya delik itu bertentangan dengan semangat demokrasi yang menjunjung tinggi suara rakyat," tulis Fadli di akun Twitter resminya, Jumat (9/2/2018).
Fadli kemudian menceritakan sedikit sejarah munculnya pasal tersebut. "Pasal itu lahir untuk melindungi martabat keluarga Kerajaan Belanda, makanya disebut sebagai Pasal lesse majeste," imbuhnya.
"Sebuah kemunduran jika kita masih mengawet-awetkan pasal semacam itu dalam KUHP," lanjutnya.
Fadli menambahkan, alasan kedua terkait Yurisprudensi. Pada 2006 Mahkamah Konstitusi (MK) telah membatalkan pasal-pasal penghinaan terhadap presiden dalam KUHP melalui Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006.
Putusan itu telah membatalkan Pasal 134, Pasal 136, dan Pasal 137 KUHP, yang mengatur delik penghinaan terhadap presiden karena dinilai bertentangan dengan konstitusi dan bisa menimbulkan ketidakpastian hukum, mengingat tafsirnya yg lentur dan rentan dimanipulasi.
"Dari draf yang beredar, tak ada perbedaan antara draf pasal baru ini dengan pasal-pasal lama yang telah dibatalkan oleh MK. Kecuali usulan bahwa pasal penghinaan terhadap presiden ini menjadi delik aduan. Itupun belum disepakati seluruh fraksi di DPR," paparnya.
Fadli melanjutkan, terkait dengan ancaman hukumannya juga tidak berbeda dengan pasal lama yang telah dibatalkan oleh MK.
"Dulu ancamannya enam tahun, dalam draf terakhir, ancaman hukumannya menjadi lima tahun. Baik lima maupun enam tahun, dengan ancaman hukuman itu polisi sama-sama bisa menahan tersangka dalam kurungan. Jadi, secara keseluruhan tidak ada perbedaan dengan pasal lama yang telah dibatalkan MK," jelasnya.
Alasan ketiga, lanjut Fahri, soal substansi. Masuknya kembali delik penghinaan terhadap presiden ini bisa mengekang demokrasi dan membelenggu kontrol terhadap pemerintah.
"Dalam draf yang ada, tidak ada rincian atau penjelasan baku mengenai apa itu penghinaan terhadap presiden. Tafsirnya kembali lagi diserahkan kepada aparat penegak hukum yang bisa memberikan interpretasi sewenang-wenang," tegasnya.
Sementara itu, yang keempat tentang over proteksi kekuasaan. Menurutnya, dengan peraturan perundangan yang saat ini sudah ada, pribadi presiden dan lembaga kepresidenan sebenarnya sudah cukup dilindungi dan terlindungi.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini mencontohkan adanya UU ITE. Berkat UU ini, sudah banyak orang dipenjarakan karena dianggap menghina presiden.
"Ini pun sudah mengekang kebebasan berpendapat. Jadi, tak perlu ada tambahan delik lagi untuk melindungi pribadi presiden. Bisa over protektif nanti," pungkasnya.