KRICOM - Konflik kepemimpinan sedang melanda Partai Hanura. Aksi saling pecat di antara dua kubu, yaitu kubu Oesman Sapta Odang (OSO) dan Sarifuddin Suding tak terelakkan.
Menanggapi hal itu, pengamat komunikasi politik, Emrus Sihombing mengatakan bahwa sebagai partai modern, seharusnya perbedaan itu bisa diselesaikan secara internal. Emrus menyayangkan bila permasalahan internal itu sampai dibawa ke ranah publik.
“Di situlah ketidakdewasaan partai di Indonesia ini. Saya kira persoalannya sama seperti di Partai Golkar ketika persoalan internal dibawa ke ranah publik,” kata Emrus kepada Kricom, Selasa (16/1/2018).
Emrus menilai seharusnya partai politik mengedepankan kompromi dalam menyelesaikan persoalan. Sebab, yang terjadi di tubuh Partai Hanura ini sejatinya adalah masalah internal partai.
"Meski kita juga mengakui dalam kompromi politik tidak semua kepentingan bisa terakomodasi," ujar Emrus.
Lebih lanjut, Emrus melihat ada dua faksi yang sangat kuat di internal Partai Hanura, yaitu faksi Wiranto selaku pendiri Partai dan faksi OSO yang kini menjabat Ketua Umum.
Ia melihat transisi kepemimpinan dari Wiranto ke OSO tidak berjalan mulus, artinya banyak kepentingan-kepentingan yang tidak terakomodir.
Selain itu, Emrus menilai terjadinya kisruh di internal Partai Hanura karena OSO bukan figur pemimpin yang mengakar di Hanura. Sebab, OSO tidak menjadi bagian dari Hanura sejak partai ini didirikan pada 2006 lalu.
Apalagi, OSO sendiri baru menjabat sebagai Ketua Umum sejak 2016 lalu ketika Wiranto mendapat perintah untuk menjabat sebagai Menkopolhukam.
"OSO kan duduk di singgasana ketika Hanura sudah established. Jadi dengan kata lain, OSO memimpin setelah Hanura existing dan tidak berjuang dari bawah. Nah, tokoh yang tidak berjuang dari bawah itu biasanya tidak mengakar,” tandasnya.