KRICOM - Lokalisasi menjadi sesuatu tempat yang'lumrah' di berbagai wilayah Indonesia. Tempat melepas nafsu syahwat ini seakan menjadi tempat favorit bagi pria hidung belang. Dengan berbalut kearifan lokal, prostitusi di daerah pun mempunyai 'rasa' dan 'harga' yang berbeda.
Di beberapa daerah, lokalisasi tumbang karena terbentur norma-norma baik norma hukum, sosial ataupun agama. Berkaca dengan ditutupnya lokalisasi 'mewah' yakni Hotel Alexis di Utara Jakarta, lokalisasi bisa berjaya tapi bisa pula merana. KRICOM merangkum beberapa lokalisasi di Indonesia yang dipaksa gulung tikar. Berikut ulasannya:
1. Gang Dolly
(Foto: nasionalisme.co)
Gang Dolly adalah lokalisasi yang terletak di daerah Jarak, Pasar Kembang, Kota Surabaya, Jawa Timur. Bisnis lendir di daerah ini diduga sudah ada dan beroperasi sejak zaman kolonial Belanda.
Uniknya, lokalisasi ini diklaim sebagai tempat praktik prostitusi terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan Patpong di Bangkok, Thailand dan Geylang di Singapura. Pada bulan Juni 2014, Gang Dolly ditutup oleh Walikota Surabaya, Tri Rismaharini.
2. Kalijodo
(Foto: yukepo.com)
Kalijodo adalah sebuah area di sekitar Jalan Kepanduan II, Kelurahan Pejagalan Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
Praktik prostitusi di Kalijodo sudah berlangsung sejak tahun 1970-an. Kalijodo terkenal sebagai tempat prostitusi murah bagi masyarakat menengah ke bawah untuk menyalurkan hasrat biologisnya.
Setelah 40 tahun beroperasi, pada akhirnya prostitusi di Kalijodo ditutup oleh Pemprov DKI, yang saat itu dipimpin oleh Basuki Tjahaja Purnama. Saat ini, Kalijodo telah 'disulap' menjadi Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA).
3. Saritem
(Foto: Pikiran Rakyat)
Saritem merupakan lokalisasi yang terletak di daerah Gardujati, Bandung. Lokalisasi ini sudah ada sejak tahun 1800-an dan merupakan warisan dari kolonial Belanda.
Saritem diambil dari nama gadis penjual jamu asal Bandung. Saritem mempunyai wajah yang cantik dan berkulit putih.Pesona Saritem ternyata memikat para petinggi pemerintah kolonial Belanda kala itu. Saritem kemudian dijadikan gundik. Sejak saat itulah Saritem menjadi ‘Nyonya Belanda’. Namanya pun berganti menjadi Nyi Saritem.
Nyai Saritem kemudian diminta oleh pimpinan Belanda untuk mencari wanita yang bisa diajak kencan oleh para serdadu Belanda yang masih melajang. Dalam misinya tersebut, Nyai Saritem difasilitasi sebuah rumah yang cukup besar. Semakin hari perempuan-perempuan yang dikumpulkannya semakin banyak.
Perempuan-perempuan tersebut berasal dari sekitaran Bandung, seperti Sumedang, Cianjur, Garut, serta Indramayu. Alhasil, daerah tersebut menjadi salah satu kawasan prostitusi di wilayah Bandung.
Pada tahun 2007, Wali Kota Dada Rosyada menutup Saritem. Di depan gang Saritem kini sudah berdiri pondok pesantren Darut Al-Taubah.
Itulah lokalisasi di Indonesia yang dulunya berjaya dan kini hanya menjadi legenda.