KRICOM - Program DP 0 rupiah yang digagas Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dianggap tak cocok untuk diterapkan ke masyarakat kecil. Bukan tanpa alasan, menurut Pengamat Kebijakan Publik Trubus Rahardiansyah, masyarakat dengan penghasilan pas-pasan akan kesulitan membayar cicilan tersebut.
Trubus menambahkan, sebagai gambaran, rumah di Pondok Kelapa View tipe 36 harganya dipatok Rp 350 jutaan. Sementara, yang tipe 21 harganya 'hanya' Rp 180 juta. Sementara masyarakat miskin yang ingi memilikinya harus menyicil 30 persen dari penghasilannya. Hal ini merujuk pada peraturan Bank Indonesia (BI).
"Masyarakat yang bisa mengikuti program tersebut setidaknya harus memiliki penghasilan Rp 7 juta ke bawah. Dengan demikian, maksimal cicilan adalah Rp 2,1 juta. Jadi kalau cicilan Rp 2,1 jelas masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) sangat sulit bisa memiliki rusun petak tersebut," kata Trubus kepada Kricom di Jakarta, Selasa (23/1/2018).
Trubus pun berkaca pada Upah Minimum Regional (UMR) DKI yang hanya mencapai Rp 3,6 juta per bulan. Andaikan suami istri bekerja semua dengan UMR Rp 3,6 juta pun akan kesulitan mengangsur cicilannya.
"Karena mereka harus memenuhi kebutuhan hidup sehari hari yang tak terjangkau dan makin mahal. Bagaimana bisa mencicil Rp 2,1 juta per bulan?" imbuhnya.
Pemgamat dari Universitas Trisakti ini yakin, ujung-ujungnya warga miskin tidak mampu bayar cicilan.
"Mana mungkin pemprov mau menanggung tunggakan cicilannya? Sedangkan kepemimpinan Gubernur hanya 5 tahun. Andaikan terpilih kembali pun untuk 5 tahun berikutnya, masyarakat belum lunas juga," tuturnya,
"Apalagi yang mengambil cicilan sampai 25 tahun, lantas siapa yg akan menanggung cicilannya ? Biasanya sudah menjadi postulat kalau ganti pemimpin pasti ganti kebijakan," lanjutnya.
Trubus yakin, masyarakat kecil hanya menjadi korban dari kampanye Anies-Sandiaga Uno yang cenderung memaksakan kehendaknya demi 'Jakarta yang Bahagia Warganya'.