DIA MAMPU enggak sih sebenarnya? Pemimpin kok kayak enggak paham dengan masalah kotanya sendiri. Jangan-jangan, dia itu cuma pemimpin jadi-jadian. Banyak kan komentar pedas seperti ini di Medsos?
Jadi pemimpin yang dicintai rakyat memang tidak mudah, pasti akan ada segelintir atau bahkan mungkin serombongan orang yang selalu mencari, mengungkit, dan mengorek-orek kelemahan atau kesalahan yang dilakukan pemimpin.
Sekarang ini atau -'zaman now', kata para milenial- saat seorang kepala daerah sudah dipilih langsung oleh rakyat, ternyata budaya nyinyir itu tak otomatis tereduksi, tapi justru malah semakin sering terdengar. Apalagi dengan 'corong bersuara' yang sangat bebas yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat seperti medsos.
Celotehan yang 'asal bunyi' tanpa bukti memang sangat banyak dan berseliweran hampir tiap detik. Itu salah dan patut dihindari. Tapi tunggu, nyinyir itu tidak selalu berkonotasi negatif loh. Banyak juga ungkapan nyinyir berisi kritik yang disampaikan dengan logika berpikir yang jernih, konstruktif, dan dapat diterima akal sehat.
Salah satunya soal kritik yang menyoal pola komunikasi yang dilakukan pemimpinnya. Wajar saja kiranya jika publik kadang bertanya-tanya dan minta penjelasan. Karena memang tugas pemimpin adalah menerjemahkan program-programnya segamblang mungkin pada rakyatnya.
Ahok bahkan sudah merasakan tuah peribahasa 'mulutmu harimaumu'. Gaya ceplas-ceplos dan cenderung frontal membawanya menginap di Mako Brimob. Anies Baswedan yang semua orang tahu piawai merangkai kata yang bernas dan mendayu, mau tak mau harus menuai polemik karena mengucap kata pribumi.
Sementara jawaban Sandiaga Uno kadang membingungkan dan membuat orang berkerut saat mencoba memahami alur berpikirnya. Akibatnya, banyak yang tersenyum geli mendengarnya saking belepotannya kalimat yang meluncur dari mulutnya.
Jadi, jangan sampai publik kemudian menyimpulkan bahwa pemimpinnya terkesan tak menguasai masalah hanya karena diksi yang digunakan tidak tepat karena terlalu mengawang atau malah berbelit tak jelas karena kesalahan diksi.
Padahal, seorang pemimpin harusnya memahami dan bisa menerapkan pola komunikasi yang baik. Jadi harus dipastikan pesan atau informasi yang disampaikannya bisa dicerna dan mudah dimengerti publik karena bermakna tunggal dan bukan multitafsir.
Jangan-jangan, kita memang salah pilih pemimpin? Ah, tak perlu juga buru-buru menvonis begitu. Ini hanya masalah pemilihan kata saja kok. Tidak lebih. Mungkin perlu juga ada jubir biar sang pemimpin tidak keseleo lidah dan membuat masyarakat berpikir bahwa pemimpinnya tidak ngerti dengan apa yang diomongkannya.
Seorang budayawan pernah bilang, jadi pemimpin itu harus mau 'tengkurap dan telentang'. Artinya, pada suatu saat, dia harus bisa mengayomi dan merangkul warganya dengan cinta. Namun di saat yang lain, pemimpin juga harus ikhlas berlapang dada menerima kritik yang juga disampaikan dengan penuh cinta dari warganya.