KRICOM - Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kewenangan memanggil paksa seseorang jika menolak panggilan. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Pasal 73 draf revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Anggota Komisi III DPR RI fraksi PDIP, Masinton Pasaribu menuturkan, semua pihak bisa dipanggil paksa. Termasuk pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"Ya terhadap siapapun," kata Masinton ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (9/2/2018).
Namun, lanjut Masinton, pemanggilan paksa tidak berlaku bagi duta besar (dubes) asing yang berada di Indonesia. Karena, mereka berpedoman pada hukum negara asal.
"Kalau duta besar kan dia punya sendiri, berlaku hukum di negaranya bukan kita," imbuhnya.
Ketika disinggung tentang pasal pemanggilan paksa diduga akan menjadikan DPR berfsifat otoriter, Masinton membantahnya. Menurutnya, parlemen berbagai negara memiliki opsi pemanggilan kepada siapapun.
"Ya di negara mana juga kewenangan parlemen karena dia adalah representasi perwakilan rakyat, maka dia diberi kewenangan untuk melakukan pemanggilan siapapun. Karena prinsip mekanisme kontrol adanya di DPR sebagai representasi rakyat yang dipilih melalui pemilu," tandasnya.