KRICOM - Anggota Komisi III DPR, Masinton Pasaribu mengklarifikasi revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) tentang hak imunitas terhadap anggota parlemen.
Dia menjelaskan, aparat penegak hukum tidak perlu memang perlu mengantongi pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) untuk memanggil dan memeriksa anggota DPR.
Namun MKD hanya sebatas memberi pertimbangan ketika aparat penegak hukum hendak memeriksa anggota parlemen. Untuk izin, tetap diterbitkan oleh presiden.
"Kan tetep lewat seizin presiden, tapi lewat MKD. Itu tahapan saja sebenernya," kata Masinton kepada wartawan di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (9/2/2018).
Dia menyadari, muncul anggapan negatif perihal muncul pasal diperlukannya pertimbangan MKD ketika aparat penegak hukum hendak memeriksa anggota DPR. Namun Masinton memastikan, tidak ada upaya menghalangi proses hukum, ketika Politikus Senayan memunculkan pasal tersebut.
"Enggak juga. Kan terhadap Tipidsus (Tindak Pidana Khusus) seperti korupsi, teroris, narkotika kan itu tidak berlaku. Jadi sebenernya itu cuma mengatur mekanismenya aja. Kan tetap melalui izin presiden," ujar Politikus dari PDI Perjuangan ini.
Lebih lanjut, kata dia, pertimbangan yang nantinya diterbitkan MKD, bukanlah bentuk intervensi kepada presiden. Presiden, bisa memberikan izin kepada aparat penegak hukum untuk memeriksa anggota DPR, meskipun mengesampingkan pertimbangan MKD.
"Kan tetap nanti kalau presiden ngasih persetujuan kan tetap bisa. Nanti kan orang mengajukan. Di MKD itu umpama kita perlu tahu apa yang dilanggar, begitu," ujar dia.
Dia menuturkan, nanti parlemen kan menggodok aturan perihal waktu pertimbangan diterbitkan. Agar permintaan pertimbangan ini, tidak mengesankan DPR berupaya mengulur pemeriksaan proses hukum.
"Nanti bisa diatur dal peraturan MKD. Itu kan baru bunyi di UU saja. Nanti ada peraturan di MKD yang menyesuaikan itu," tandasnya.
Pemeriksaan anggota DPR oleh aparat penegak hukum memerlukan pertimbangan dari MKD. Seperti tertuang dalam Pasal 245 draf revisi UU MD3 yang berisi 'Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dalam Pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan'.