KRICOM - Revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terus menuai kontroversi. Sebab ada beberapa pasal yang dianggap melanggar konstitusi.
Hal tersebut dibenarkan oleh Pakar Hukum Tata Negara, Hifdzil Alim. Selain melanggar konstitusi, beberapa pasal di undang-undang tersebut juga dinilai multitafsir.
"Disitu letak kekeliruan dan pelanggaran konstitusional dari UU MD3 tersebut. Tidak jelasnya tafsir tentang merendahkan martabat anggota dewan seperti apa," kata Hifdzil saat dihubungi Kricom.id, Kamis (15/2/2018).
Salah satu poin yang menjadi sorotan ialah Pasal 122 K yang menyebut Mahkamah Konstitusi Dewan (MKD) bisa mengambil langkah hukum kepada siapapun yang dianggap merendahkan martabat anggota dewan.
"Tidak jelasnya tafsir tentang merendahkan martabat anggota dewan akan menjadi keranjang sampah penafsiran subjektif masing-masing anggota dewan," ujarnya.
Lewat pasal itu, dia menganggap DPR tengah melindungi lembaganya dari ruang kritik. Sekaligus ingin menunjukan kuasanya kepada orang-orang yang tidak mereka sukai.
"Ibaratnya kalau ada anggota dewan yang tidak suka dengan seseorang, maka pasal itu bisa jadi alat kekuasaan dewan untuk memukulnya," tutup peneliti dari Pukat UGM itu.
Sekadar informasi, Ketua DPR RI Bambang Soesatyo memastikan, mekanisme pengesahan UU MD3 di DPR dalam rapat paripurna yang digelar Senin (12/02/2018) sudah sesuai dengan tata tertib dan ketentuan yang berlaku. Sebelum disahkan di Rapat Paripurna Dewan juga sudah melalui proses pembahasan bersama dengan Pemerintah. Oleh karena itu, dia mempersilakan siapa pun untuk menggugat di MK jika tidak sependapat.