KRICOM - Sekretaris Jenderal Partai PPP yang juga Penasihat Fraksi PPP di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Arsul Sani menyebutkan pengesahan revisi Undang-undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3) terkesan terlalu terburu-buru.
"Bagi Fraksi PPP ya terburu-buru. Kita sudah bilang jangan terburu-burulah. Minimal ada satu kali masa sidang lagi. Kita dengarkan ahli dan lain-lain," kata Arsul Sani dalam diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (17/2/2018).
Menurut Arsul, Dewan Perwakilan Rakyat harusnya lebih bisa mendengarkan pendapat daripada masyarakat sipil dan ahli hukum tata negara. Kemudian dapat membandingkan aturan-aturan yang dianggap krusial.
Anggota Komisi III DPR ini menyatakan beberapa bunyi Padal yang terdapat dalam Revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 ini memerlukan sedikit perbaikan untuk adanya penjelasan dalam undang-undang agar tidak menimbulkan salah tafsir.
Salah satunya adalah Pasal 122 huruf K yang berbunyi MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan Kehormatan DPR dan anggota DPR
"Saya sudah bilang, jangan pakai istilah 'merendahkan kehormatan', itu abstrak. Kami sarankan pencemaran nama baik itu lebih familiar," ujarnya.
Seperti diketahui, Dewan Perwakilan Rakya mengesahkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3) pada Senin (12/02). Didalam UU MD3 tersebut tersapar Pasal yang dinilai kontroversial.
Yang pertama ada Pasal 73 yang mewajibkan polisi membantu memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR, yang enggan datang. Lalu ada Pasal 122 huruf K, dimana Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR bisa mengambil langkah hukum terhadap pihak yang merendahkan kehormatan DPR dan Anggota DPR.
Selain itu, tersapat Pasal 245 yang mengatur bahwa pemeriksaan anggota DPR oleh penegak hukum harus dipertimbangkan MKD terlebih dahuku sebelum dilimpahkan ke Presiden untuk pemberian izin.