KRICOM - Pembentukan Garda 212 dinilai semakin menegaskan gerakan keagamaan yang digunakan untuk kepentingan politik. Pengamat sosial dan politik Arbi Sanit menilai, publik jadi bisa menilai bahwa tujuan dari gerakan 212 yang ada selama ini semata-mata jadi alat politik partai tertentu untuk membuat gaduh negara ini.
"Dari awal sudah ketahuan. Waktu gerakan dilakukan di tanggal 212 saja sudah politik bukan agama. Sebab, itu gerakan aksi massa yang masif dan menggunakan fatwa MUI dan sasarannya adalah agama lain, Ahok (Basuki Tjahaja Purnama )," kata Arbi kepada Kricom di Jakarta, Minggu (14/1/2018).
Arbi melanjutkan, kelompok 212 dan sempalannya, sudah membawa-bawa nilai agama yang luhur ke dalam politik identitas.
"Ini sudah terbukti (terbentuknya Garda 212)," kata pengamat dari Universitas Indonesia ini.
Arbi beranggapan bahwa Garda 212 ini lebih dari sekedar 'makelar' politik melainkan tengah membangun kekuatan sosial politik dengan agama. Mereka dihidupkan secara terus baik secara ideologi maupun organisasi.
"Makanya ada ulang tahun, ada acara macam-macam. Dan setiap acara kedutaan Amerika kemarin juga ikut. Mereka menyiapkan suatu basis kekuatan Islam radikal," tutur dia.
"Itu lantas dijual kemana-mana, seperti ke Gerindra ke PKS dan kemana saja yang mau beli. Artinya yang tertarik menggunakannya, asal menggunakan ideologi mereka, Islam garis keras. (Partai) Ikuti ideologi dia, maka dia akan dukung," tutupnya.
Diketahui, Perhimpunan Alumni 212 resmi membentuk Garda 212. Nantinya, organisasi ini akan berkecimpung di dunia politik.
Menurut Ketua Garda 212, Ansufri Idrus Sambo, Garda 212 merupakan wadah yang menampung dan memberikan pelatihan-pelatihan bagi umat yang ingin berkecimpung di dunia politik, terutama Pemilu Legislatif 2019 mendatang.
"Kami sudah bekerja sama dengan tiga partai, yakni Gerindra, PKS, PBB dan PAN. Nantinya, mereka akan dimasukkan ke partai itu," kata Idrus di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (13/1/2018).
"Alasan kami pilih keempat partai itu karena satu ideologi," tambahnya.