KRICOM - Rencana PAN, PKS dan Gerindra untuk membentuk poros baru di Jawa Timur ternyata gagal terlaksana. Pasalnya, Calon Gubernur yang mereka usung tak mendapat restu dari Nahdlatul Ulama.
Wakil Ketua Umum PAN, Taufik Kurniawan sadar koalisi alternatif layu sebelum berkembang. Hal ini dikarenakan dinamika politik Pilkada Jatim berubah dengan cepat.
"Ya artinya itu kan proses dinamisasi atau dinamika secara kontestasi menuju cagub dan cawagub," kata Taufik saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Rabu (10/1/2018).
Pecahnya koalisi menghadapi Pilkada merupakan hal yang biasa terjadi. Meski bergabung dalam koalisi, namun setiap partai tentunya memiliki pertimbangan tersendiri yang perlu dihormati.
"Sehingga hal demikian (koalisi alternatif layu sebelum berkembang) menurut saya hal biasa saja," pungkasnya.
Menurut Taufik, ada banyak pertimbangan dalam dunia politik. Khusus untuk Pilkada Jatim, partai memikirkan soal kearifan lokal, sebelum mengusung tokoh sebagai cagub-cawagub dalam Pilkada Jawa Timur.
"Jadi tidak bisa ditarik garis lurus koalisi permanen dari pusat sampai daerah, tidak bisa," ungkap dia.
Sebagai catatan, kaolisi alternatif Pilkada Jatim layu sebelum berkembang. Koalisi ini kandas setelah Yenny Wahid memilih tidak ikut serta sebagai cagub dalam Pilkada Jatim.
Pasca koalisi kandas, Gerindra dan PKS mengusung pasangan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno dalam Pilkada Jatim. Sedangkan PAN memilih Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak di Pilkada Jatim.