KRICOM - Pasca menuding adanya dugaan maladministrasi di Tanah Abang, lembaga Ombudsman RI langsung menuai kritikan.
Anggota Komisi III DPR Sufmi Dasco Ahmad mengingatkan agar Ombudsman tidak standar ganda dan overlap dalam menangani laporan.
Menurut Sufmi, dalam kasus ini Ombudsman sudah melewati domain yang diatur dalam UU Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman dan UU Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik karena pengaturan jalan bukan termasuk kegiatan pelayanan atas barang dan jasa atau pelayanan administratif.
"Ombudsman juga mengabaikan ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasti Pemerintahan yang memberikan pejabat pemerintahan hak untuk melakukan diskresi," kata Sufmi di Jakarta, Rabu (28/3/2018).
Politisi Gerindra ini mengatakan, bisa saja DPR akan memberikan teguran kepada lembaga itu.
''Meskipun Ombudsman adalah mitra Komisi II, tetapi kalau melakukan tindakan overlap maka akan menimbulkan konflik dan masalah hukum yang merupakan ranah Komisi III. Saya berharap Ombudsman bisa melakukan perbaikan serius dalam menjalankan tugasnya. Praktik standar ganda dan overlap harus dijauhi," pungkasnya.
Adapun empat pelanggaran atau maladministrasi itu, pertama, Ombudsman menyebut penataan PKL Tanah Abang telah merugikan pedagang Blok G Tanah Abang secara ekonomi. Hal itu dinilai tidak selaras dengan tugas Dinas UKM dan Perdagangan dalam melaksanakan pembangunan, pengembangan, dan pembinaan usaha mikro, kecil, dan menengah serta perdagangan sesuai Pergub DKI No 266 Tahun 2016.
Konsep penataan ini juga dinilai terburu-buru karena Pemprov DKI belum memiliki Rencana Induk Penataan PKL dan peta Jalan PKL di DKI.
Kedua, Anies Baswedan dinilai telah menyalahi prosedur lantaran tidak mendapatkan izin dari pihak Direktorat Lalu Lintas Polda Metro untuk mengalihfungsikan lahan. Hal ini telah tertuang dalam Pasal 128 ayat (3) UU No 22 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bahwa penggunaan jalan di luar untuk lalu lintas harus seizin Polri.
Diskresi yang menjadi dasar Anies melakukan penataan dinilai tidak sesuai dengan undang-undang yang ada dan mengabaikan Perda No 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta 2030, dan Perda No 1 Tahun 2014 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan pengaturan Zonasi DKI Jakarta 2030. Ombudsman menilai ada maladministrasi dengan pengabaian hukum.
Ketiga, Anies telah melakukan tindakan melawan hukum dengan melakukan alih fungsi jalan. Penutupan Jalan Jati Baru disebut telah melanggar UU No 38 Tahun 2004 tentang jalan, UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Peraturan Pemerintah No 34 Tahun 2006 tentang Jalan, dan Perda DKI No 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
Keempat, Anies Baswedan dinilai melanggar hak pejalan kaki dalam mengunakan trotoar.