KRICOM - Pasal ancaman pidana bagi pengkritik DPR yang telah disahkan dalam Undang Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menjadi sorotan publik.
Sebab pasal tersebut dianggap sebagai upaya mengebiri demokrasi sekaligus mengancam kebebasan pers. Karena setiap orang yang dianggap merendahkan DPR dan anggotanya bisa diproses hukum.
"Bisa jadi seperti itu. Semua kan akhirnya based on asumsi dewan. Antara masyarakat menyampaikan aspirasi atau mengkritik DPR akan sangat tipis membedakannya," kata Peneliti dari Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), Ditta Wisnu kepada Kricom, Rabu (14/2/2018).
Sebab itulah, baik pers maupun masyarakat sekarang harus lebih berhati-hati dalam mengemukakan pendapatnya kepada anggota dewan.
Karena kalau mereka merasa tersinggung atau tidak suka, tentu anda bisa diproses hukum oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
"Tergantung bagaimana DPR memandang akhirnya. Jadi ini yang enggak pas dalam mengaturnya dan membahasakan di undang-undangn," ujarnya.
Kendati begitu, Ditta merasa jika DPR salah kaprah jika menganggap Pasal 122 K dalam UU MD3 bisa menambah kekuatan mereka. Sebaliknya, poin-poin di peraturan baru tersebut justru bisa membuat mereka atau partainya tidak terpilih di Pileg 2019 mendatang.
"Mereka anggap ini kekuatan, tapi sebenarnya bisa menjadi kekalahan juga. Karena mereka dipilih berbasis suara rakyat, aspirasi rakyat. Kalau begini konstituen pun jadi enggan atau takut menyampaikan aspirasi," tutup Ditta.