KRICOM - Kritik bermunculan pasca Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyelesaikan Rancangan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Bahkan saat ini sudah ada pihak yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Bidang Hukum, HAM, dan Perundang-undangan, Robikin Emhas menganggap uji materi ke MK hal yang wajar. Dia menilai, beberapa pasal dalam UU MD3 mencerminkan sisi gelap demokrasi.
"Hasil amandemen UU MD3 mencerminkan sikap lembaga demokrasi yang antidemokrasi," kata Robikin kepada Kricom, Kamis (16/2/2018).
Menurutnya, DPR merupakan lembaga yang sangat demokratis dan tempat untuk menghasilkan suatu produk yang demokratis.
"Lalu bagaimana mungkin DPR membentengi diri dengan hak imunitas yang melampai batas dan menyematkan kewenangan untuk dapat melakukan serangan hukum kepada pihak pengkritiknya? Apa itu tidak antidemokrasi?" jelasnya.
Karena itu, lanjut dia, sangat layak jika UU MD3 diuji materi. Terlebih terhadap pasal-pasal yang mengandung kontroversi di tengah masyarakat.
"Lagi pula, judicial review adalah suatu mekanisme legal yang disediakan sistem hukum kita untuk menguji konstitusionalitas suatu UU, termasuk UU MD3," ungkapnya.
Seperti diketahui, uji materi terhadap UU MD3 dilayangkan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FJHK) terkait Pasal 73 ayat (4) huruf b yang menyatakan, Polri wajib memenuhi permintaan DPR memanggil paksa setiap orang yang tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang sah tidak hadir dalam rapat DPR.
Kemudian uji materi dilayangkan atas Pasal 73 ayat (5) yang menyatakan, dalam menjalankan panggilan paksa Polri dapat menyandera setiap orang paling lama 30 hari.
Ke depan, Robikin yakin akan ada banyak pihak yang turut mengajukan uji materi ke MK terhadap Pasal di UU MD3.
"Meskipun banyaknya pihak yang mengajukan judicial review, secara hukum tidak memengaruhi kualitas gugatan. Saya percaya akan ada banyak pihak yang melakukan hal sama," pungkasnya.