KRICOM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar, Fayakhun Andriadi sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring di Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI, Rabu (14/2/2018) malam.
Pria yang juga menjabat sebagai Komisi III DPR RI ini, diduga menerima fee atau imbalan atas jasanya mengurus anggaran Bakamla senilai 1 persen dari total anggaran sebesar Rp 1,2 triliun.
Menanggapi hal tersebut, politikus Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia memaparkan, penetapan status tersangka terhadap Fayakhun merupakan sebuah pukulan berat bagi partai berlogo pohon beringin tersebut.
"Itu sebuah kenyataan pahit yang harus diterima oleh Golkar saat ini. Fayakhun adalah salah satu kader terbaik yang dimiliki Golkar. Muda, energik, dan memiliki wawasan yang luas," terang dia saat dihubungi Kricom, Kamis (15/2/2018).
Golkar pun pasrah dengan status tersangka yang telah melekat di Fayakhun dan harus merelakan kadernya untuk fokus kepada proses hukum yang tengah menjeratnya, ketimbang mengurusi urusan partai atau parlemen.
"Kami tidak bisa lagi berbuat apa-apa selain menerima situasi yang terjadi. Dengan berat hati Golkar harus merelakan Fayakhun untuk fokus dan konsentrasi mengikuti proses hukum yang akan dijalaninya," ungkap dia.
Menurut dia, sejak posisi Ketua Umum dijabat Airlangga Hartarto, Golkar memiliki komitmen kuat terhadap pemberantasan korupsi. Karena itu, dia menyebut, Golkar akan menonaktifkan Fayakhun dari posisi pimpinan partai berwarna kebesaran kuning ini.
"Golkar hari ini adalah 'Golkar Bersih' yang zero tolerance terhadap korupsi. Fayakhun akan segera dinonaktifkan dari pimpinan Golkar DKI, sebagai bentuk komitmen Golkar dengan tag line barunya dan dukungan terhadap KPK dalam melakukan pemberantasan korupsi," ucap dia.
Sebelumnya, KPK memaparkan bahwa Fayakhun Andriadi menerima imbalan atas jasa mengurus anggaran Bakamlah senilai 1 persen dari total anggran sebesar Rp 1,2 triliun. Jika dirupiahkan, besaran 1 persen dari total anggaran Bakamla, Ketua DPD Partai Golkar DKI Jakarta ini menerima fee sebesar Rp 12 miliar.
Selain itu, anggota DPR RI itu juga diduga menerima uang US$ 300 ribu yang diterima dari Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia, Fahmi Darmawansyah melalui anak buahnya, Muhammad Adami Okta secara bertahap sebanyak empat kali.