KRICOM - Ketua Umum Satuan Relawan Indonesia Raya (Satria) Gerindra, Mohammad Nizar Zahro menganggap, kemunculan Pasal 263 tentang Penghinaan Terhadap Presiden dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), membawa Indonesia mengalami kemunduran politik.
Karena itu, dia merasa heran, pasal tentang penghinaan terhadap presiden kembali muncul. Padahal pasal ini pernah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK), sebagaimana tertuang dalam putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
"Sehingga aneh jika di era reformasi ini ada sejumlah pihak yang ingin menghidupkan kembali pasal tersebut," kata dia dalam keterangan resminya, Rabu (7/2/2018).
Lebih aneh lagi, kata dia, upaya penghidupan pasal penghinaan terhadap presiden, didukung oleh mantan aktivis yang saat ini bergabung di partai penguasa.
"Salah satu pendukung penghidupan kembali pasal penghinaan terhadap presiden adalah mantan aktivis," ujar dia.
Menurut dia, sangat tidak masuk akal, aktivis yang dahulu memperjuangkan kebebasan berekpresi, saat ini tampil menjadi pendorong lahirnya pasal penghinaan presiden.
"Idealisme yang dahulu menjulang tinggi seakan sirna tidak berbekas," keluhnya.
Dia menuturkan, siapapun yang ingin menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden harus dilawan. Jangan sampai negeri ini mundur ke belakang hanya gara-gara ada segelintir orang yang ingin presiden yang didukungnya tidak ingin dikritik.
"Oleh karena itu, sebelum RKUHP diketuk palu maka pasal-pasal yang mirip lesse majeste, yakni pasal yang bertujuan melindungi martabat keluarga Kerajaan Belanda, harus dihapuskan. Indonesia sudah diakui dunia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia jangan sampai mundur menjadi feodalistik kembali," ujar dia.
Dia menerangkan, siapapun presidennya, jika bekerja di jalur kerakyatan maka akan dicintai rakyatnya. Namun jika presiden bekerja lebih mendahulukan kepentingan asing, menumpuk hutang, dan mengimpor produk-produk kerakyatan, maka akan menerima hujan kritik.
"Jadi, untuk melindungi presiden tidak perlu dengan pasal dalam KUHP karena akan rentan digunakan sebagai alat represifitas. Presiden cukup bekerja di jalur kerakyatan. Itu perlindungan sejati karena rakyatlah yang akan melindungi presidennya," pungkas dia.