KRICOM - Panitia Kerja (Panja) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus menggodok Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). DPR menargetkan, dalam masa sidang hingga Februari 2018, RKUHP bisa dirampungkan.
"RKUHP ini kami pandang akan jadi produk UU yang penting. Kalau kita lihat KUHP sekarang yang merupakan peninggalan penjajah Belanda sudah berumur 150 tahun," kata anggota Panja RKUHP, Arsul Sani ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Senin (5/2/2019).
Arsul berharap, RKUHP yang dihasilkan ini bakal berumur panjang. Karena itulah, Panja RKUHP akan bekerja dengan hati-hati dan teliti.
Arsul sadar, RKUHP yang tengah dirancang banyak menuai sorotan berbagai pihak. Satu di antaranya terkait pasal tentang Pelarangan Menyebarkan Alat Kontrasepsi.
"Satu dua hari ini kan saya dapat pertanyaan, misalnya dari bunyi pasal yang terkait dengan soal larangan untuk menyebarkan alat kontrasepsi, bidan-bidan dan tenaga kesehatan bisa kena pidana," katanya.
Padahal, kata dia, pasal tentang Pelarangan Menyebarkan Alat Kontrasepsi sebagaimana yang tertuang dalam draf RKUHP, tidak mengancam pidana para bidan dan tenaga kesehatan.
"Kalau ada suara seperti itu, menunjukkan bahwa yang dibaca hanya pasal tapi enggak baca penjelasannya dan enggak baca risalah pembahasannya. Bahwa pasal itu tidak akan mengkriminalisasi tenaga kesehatan, dokter, bidan, bahkan dukun bayi," tuturnya.
Sebagai catatan, Pasal 481 dalam draf RKUHP mengatur tentang Pelarangan Menyebarkan Alat Kontrasepsi. Dalam Pasal 481 menyebutkan, setiap orang yang tanpa hak secara terang-terangan mempertunjukkan suatu alat untuk mencegah kehamilan, secara terang-terangan atau tanpa diminta menawarkan, atau secara terang-terangan atau dengan menyiarkan tulisan tanpa diminta, menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan tersebut, dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori 1.