KRICOM - Partai Hanura dilanda dualisme kepengurusan. Aksi saling klaim dan pecat memecat dilakukan oleh dua kubu, yakni kubu Oesman Sapta Odang (OSO) dan kubu Sarifuddin Sudding yang menguasai kantor DPP Hanura.
Pengamat Komunikasi Politik Emrus Sihombing menyebut saat ini realitas politik di Hanura menunjukkan bahwa partai itu mengikuti tiga 'saudara' tuanya yang 'kapalnya' pernah terbelah dengan dua nakhoda.
"Yakni seperti yang dialami oleh PDI ketika masa Orde Baru, kemudian terjadi pada Golkar dan PPP di era reformasi ini," ujar Emrus kepada Kricom.id, Sabtu (20/1/2018).
Menurut Emrus, kekisruhan itu menunjukan bila parpol di tanah air belum matang dan masih sangat rentan perpecahan, baik penyebabnya dari internal maupun eksternal partai.
Karenanya, lanjut dia, amat sulit bagi publik percaya bahwa partai-partai di Indonesia mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sebab, mengurusi dirinya saja para parpol sudah terseok-seok.
Belum lagi, lanjut Emrus, saat ini parpol cenderung ke arah pragmatis seperti yang diperlihatkan dalam penyusunan paslon Pilkada 2018. masih menyedihkan. Di mana rakyat seolah dipaksa menerima apapun yang diputuskan oleh partai terkait dengan kerja demokrasi dari partai.
"Misalnya, partai menyodorkan paslon pada Pilkada yang namanya pernah disebut terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi di KPK, dan bahkan ada balon sebagai peserta pilkada yang pernah menjalani pidana, sehingga moral politik bukanlah menjadi kompas penunjuk jalan berpolitik oleh partai," jelasnya.
Diketahui, prahara di Hanura semakin meruncing dalam sepekan ini. Bahkan, Hanura kubu Sudding telah resmi menetapkan Marsekal Madya Daryatmo sebagai Ketua Umum Hanura menggantikan posisi OSO melalui Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) di DPP Hanura, Kamis (18/1/2018) lalu.