KRICOM - Pasal 263 dan 264 tentang Penghinaan Presiden masuk dalam draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) per Januari 2018. Padahal, pasal tersebut dibatalkan Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006.
Anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP Arsul Sani menyebut, norma pasal penghinaan presiden yang tertuang dalam RKUHP dan KUHP berbeda. Sehingga wajar jika pasal ini kembali dihidupkan.
"Soal pasal penghinaan pada presiden dan wapres perlu dijelaskan bahwa secara norma dasar akan jadi sesuatu berbeda dengan pasal di KUHP yang sekarang sudah dibatalkan MK," kata Arsul di Gedung DPR, Jakarta, Senin (5/2/2018).
Menurut dia, perbedaan terletak pada sifat deliknya. Pada KUHP delik bersifat umum, sedangkan pada RKUHP deliknya merupakan aduan.
Lebih lanjut, kata ia, pasal penghinaan kepada presiden dan wapres perlu dihidupkan. Jika tak muncul, maka tidak masuk akal. Mengingat ada pasal dalam KUHP, yang memungkinkan pemidanaan terhadap penghina kepala negara asing yang berada di Indonesia.
"Kami jelaskan bahwa itu tidak make sense ketika dibawa atau bagian lain dari KUHP. Ini mengatur tentang pemidanaan terhadap penghinaan pada presiden atau kepala negara lain yang sedang berkunjung ke sini," jelasnya.
Sebelumnya, Pakar Hukum Tata Negara, Mahfud MD menuturkan, tidak masalah sebuah pasal kembali muncul meskipun telah dibatalkan dalam KUHP. Asalkan pasal baru dengan yang lama, memiliki substansi yang berbeda.
"Karena sebuah pasal yang substansinya dihilangkan, tapi diganti substansi lain itu tidak apa-apa," kata Mahfud di Gedung DPR, Jakarta, Jumat (2/2/2018) lalu.